Jakarta (ANTARA) - Di tengah serbuan daging impor, Indonesia sebetulnya memiliki kekayaan plasma nuftah sapi bali yang telah diakui dunia.
Sapi ini terkenal bandel terhadap kondisi apapun dan menjadi primadona peternak sampai saat ini. Sapi bali yang semula berasal dari Pulau Bali itu sejak 1890-an telah menyebar ke Sulawesi.
Kini sebarannya merata dari barat hingga timur, seperti Sulawesi Selatan, Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur, Sumatera Selatan, Lampung, Bengkulu, dan Kalimantan Tengah. Sapi bali, bahkan telah diternakkan di Malaysia, Filipina, dan Australia.
Populasi sapi bali (Bos sondaicus) di Indonesia mencapai 32,31 persen dari total sapi potong. Berdasarkan data Kementan Tahun 2021, jumlah sapi potong di Indonesia sebanyak 17,4 juta ekor, sehingga populasi sapi bali diperkirakan 5.621.940 ekor.
Sapi bali sebagai sapi unggul tropis lokal memiliki banyak kelebihan sehingga dipelihara oleh banyak peternak.
Sapi bali memiliki daya adaptasi yang tinggi terhadap lingkungan marjinal. Sapi bali mampu memanfaatkan pakan berkualitas rendah. Pada kondisi kekeringan kondisi badan sangat kurus, tetapi terkadang masih mampu berahi dan bunting.
Daya reproduksi baik dengan persentase karkas dan daging yang tinggi. Sapi bali juga memiliki efek heterosis positif tinggi pada persilangan.
Heterosis adalah kondisi keturunan yang dihasilkan berkinerja lebih baik dibandingkan leluhurnya. Beragam sifat unggul itu disukai peternak Indonesia yang umumnya beternak apa adanya.
Ukuran sapi bali betina umumnya sedang, berdada dalam, warna bulu biasanya merah. Terkadang warna bulu keemasan dan cokelat tua, meskipun tidak umum. Bibir, kaki dan ekor hitam. Ciri khas sapi bali berkaki putih dari lutut ke bawah.
Terdapat pula warna putih berbentuk oval yang sangat jelas di bagian pantatnya. Sapi bali juga memiliki garis hitam pada punggung, yaitu dari gumba sampai ujung ekor atau garis belut.
Pada sapi bali jantan, terdapat karakteristik yang khas. Terjadi perubahan warna dari warna bulu merah bata menjadi hitam. Pada pejantan yang dikebiri, warna hitam berubah kembali menjadi coklat muda keemasan. Selain keunggulannya, sapi bali juga memiliki beberapa kelemahan. Pertumbuhannya lambat serta produksi susu rendah.
Dampaknya banyak pedet yang mati karena kekurangan susu dari induknya. Sapi bali juga rentan terhadap penyakit Jembarana dan memiliki kepekaan tertinggi di Indonesia terhadap penyakit Malignant Catarrhal Fever (MCF).
Namun, kelemahan itu di kalangan peternak rakyat tidak terlalu menghambat karena pemeliharaan dan penjualannya yang mudah, sehingga dapat menjadi tabungan peternak. Kini persilangan sapi bali di masyarakat semakin marak.
Populasi persilangan
Belum diketahui data pasti populasi hasil persilangan tersebut. Namun, diyakini jumlahnya dari tahun ke tahun terus meningkat. Secara ekonomis metode persilangan dalam jangka pendek memang sangat menguntungkan, tetapi dampak persilangan jangka panjang terhadap reproduksi serta kemurnian genetik plasma nutfah perlu diperhitungkan.
Dibutuhkan penelitian lebih lanjut dampak persilangan agar peningkatan genetik sapi lokal dapat memberi keuntungan maksimal untuk jangka panjang.
Berdasarkan parameter reproduksi, terdapat indikasi dari beberapa penelitian yang melaporkan terjadi penurunan kinerja sapi bali persilangan.
Daya adaptasi sapi bali persilangan di lingkungan tropis yang memiliki dua musim, hujan dan kemarau, ternyata tidak setangguh sapi bali murni. Dilaporkan rata-rata angka kebuntingan sapi bali persilangan 78,9 persen lebih rendah dibanding sapi bali murni yang mencapai 90 persen.
Periode beranak juga semakin lama dari 363 hari menjadi lebih 400 hari. Umur kawin pertama juga lebih lambat dibanding sapi bali murni, yaitu 21,8 bulan dari semula 18,6 bulan. Jumlah perkawinan sampai induk bunting juga meningkat menjadi 2 kali dari rata-rata semula 1,3 kali.
Terkadang dijumpai induk dengan gejala birahi yang berlangsung singkat karena siklusnya pendek. Dampaknya periode kawin tidak dapat dilakukan tepat waktu karena tanda-tanda birahi tidak dapat diamati.
Sebaliknya induk menunjukkan birahi terus menerus dengan durasi yang tidak teratur dan sering keluar banyak cairan dari vulva.
Sapi Bos taurus yang digunakan sebagai sumber straw (pada manusia:sperma, red) dalam program IB adalah sapi yang berasal dari temperate zone (daerah sedang). Sapi tersebut terbiasa hidup di daerah berhawa dingin dengan sistem pemeliharaan yang teratur.
Sapi bali persilangan yang dipelihara oleh peternak diduga kurang mampu menghadapi cekaman panas lingkungan serta kondisi pakan yang buruk.
Persilangan tanpa rencana justru menurunkan kemampuan reproduksi. Penurunan produktivitas sapi persilangan juga diduga karena pengaruh interaksi genetik dengan lingkungan.
Seberapa besar proporsi darah sapi eksotik yang menyebabkan penurunan efisiensi reproduksi, memerlukan penelitian lebih lanjut.
Secara ekonomi, gangguan reproduksi memberikan kerugian besar bagi peternak, seperti penambahan biaya inseminasi buatan (IB) yang semula cukup satu kali, misal Rp100.000, bertambah dua kali lipat sampai bunting, dan peningkatan biaya pemeliharaan.
Selain itu penambahan biaya penggantian induk majir, penambahan biaya pengobatan, dan penambahan waktu panen dan pengurangan panen pedet.
Peraturan yang melarang persilangan sapi bali dengan sapi bangsa lain kurang efektif, sehingga diperlukan pengaturan persilangan.
Pertama, pengaturan zona provinsi konservasi dan zona nonkonservasi. Sapi bali tidak boleh disilangkan di provinsi zona konservasi, seperti yang dipilih untuk kegiatan pelestarian sapi bali oleh Kementerian Pertanian.
Pemurnian sapi bali juga dilakukan dengan pembibitan sapi bali di Balai Pembibitan Ternak Unggul dan Hijauan Pakan Ternak (BPTU-HPT) Denpasar, penguatan pembibitan di Pulau Nusa Penida, Provinsi Bali serta wilayah sumber bibit sapi bali, antara lain di Kabupaten Barru (Provinsi Sulawesi Selatan), Kabupaten Kelungkung dan Kabupaten Buleleng (Provinsi Bali), Kabupaten Barito Kuala (Provinsi Kalimantan Selatan), dan Kabupaten Konawe Selatan (Provinsi Sulawesi Tenggara).
Praktiknya persilangan bertujuan untuk mendapatkan sapi komersial yang menghasilkan produksi dan kualitas daging lebih baik dari sapi lokal.
Peran petugas di lapangan sangat besar dalam memberikan edukasi ke peternak terhadap praktik persilangan ini. Untuk mempertahankan kemurnian sapi bali dilakukan melalui pemurnian yang terprogram.
Pemurnian harus diarahkan pada peningkatan produktivitas untuk memenuhi kebutuhan daging dan sebagai sumber bibit unggul.
Kedua, pemerintah harus segera merancang program persilangan terarah dengan mempertimbangkan berbagai aspek, yaitu produksi, sosial ekonomi, dan lingkungan.
Persilangan sapi bali dengan pejantan yang berukuran besar, misalnya Simental dan Limousin, hanya dapat dilakukan di daerah yang ketersediaan pakannya memadai.
Upaya tersebut perlu terus didukung dengan berbagai kebijakan dan dukungan pemerintah lain, sehingga sapi bali murni tidak akan mengalami kepunahan dan tetap menjadi kebanggaan bangsa Indonesia.
*) Dr (Cand). drh. Aulia Evi Susanti, M.Sc adalah mahasiswa doktoral Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan IPB University, Bogor.
Copyright © ANTARA 2023