Jakarta (ANTARA) - Sejumlah tokoh lintas agama dan kepercayaan Indonesia sepakat menyerukan penyelesaian masalah kemanusiaan yang terjadi di Tanah Air dengan mengutamakan pendekatan damai, lewat implementasi komitmen Dokumen Abu Dhabi untuk perdamaian dunia.
"Kita semua berharap pertemuan di Atma Jaya ini adalah sebagai awal dari munculnya gerakan bersama untuk mewujudkan Dokumen Abu Dhabi. Gerakan ini membutuhkan kerja sama dari kita semua. Bukan kami atau mereka. Ini gerakan bersama," ujar Uskup Keuskupan Agung Jakarta Mgr. Ignatius Kardinal Suharyo di Jakarta, Rabu.
Pernyataan tersebut disampaikan dalam seminar nasional dengan tema Menghidupkan Dokumen Abu Dhabi dalam Persaudaraan Sejati untuk Dialog Karya dan Bekerja Sama dalam Gerakan Mengatasi Masalah Kemanusiaan, yang digelar di Universitas Atma Jaya.
Ia menjelaskan Dokumen Abu Dhabi ini ditandatangani oleh Paus Fransiskus dan Imam Besar Al Azhar Syeikh Ahmad Al Thayyib pada 2019 lalu. Dokumen Abu Dhabi merupakan bagian tak terpisahkan dari kunjungan bersejarah Paus Fransiskus ke Uni Emirat Arab pada 3-5 Februari 2019. Dokumen tersebut berjudul Dokumen Tentang Persaudaraan Manusia untuk Perdamaian Dunia dan Hidup Beragama.
Pada bagian awal dokumen tersebut ditegaskan bahwa kunjungan Paus Fransiskus ke Uni Emirat Arab menjadi tonggak sejarah dalam dialog antaragama dan membuka pintu-pintu untuk pembicaraan tentang toleransi yang perlu didengar oleh seluruh dunia.
Dokumen Abu Dhabi ini disebutkan menjadi peta jalan untuk membangun perdamaian dan menciptakan hidup harmonis di antara umat beragama dan berisi beberapa pedoman yang harus disebarluaskan ke seluruh dunia.
Menurut Ignatius Kardinal, seminar ini merupakan realisasi dari Dokumen Abu Dhabi yang mendorong keberadaan agama-agama di dunia agar mampu mempersembahkan perdamaian.
"Kehadiran kesembilan tokoh lintas agama dan kepercayaan di Unika Atma Jaya pada hari ini sudah merupakan wujud nyata Dokumen Abu Dhabi yakni persaudaraan sejati yang sangat kita syukuri," kata dia.
Sekretaris Umum PP Muhammadiyah Abdul Mu'ti menyebut ada beberapa cara untuk mengurangi bahkan menghilangkan praktik intoleransi dalam beragama.
Upaya-upaya tersebut seperti penegakan hukum yang kuat, pendekatan kultural lewat pertemuan antarumat beragama, hingga memperbanyak perjumpaan, percakapan, dan saling mendengar.
Mu'ti memandang bahwa dialog kerukunan masih berkutat pada tingkat elite pemuka agama, belum terlalu banyak dilakukan oleh umat di akar rumput.
Bagi dia, Dokumen Abu Dhabi memberikan pelajaran bahwa agama itu berbeda secara ritual tapi memberi banyak kesamaan mengenai persoalan kemanusiaan.
"Satu hal penting, One Humanity, One Responsibility, untuk kemanusiaan. Konteksnya manusia sebagai makhluk Tuhan yang sangat mulia untuk mencapai kebahagiaan," kata dia.
Sementara itu, Ketua Yayasan Atma Jaya Jakarta Linus M. Setiadi mengatakan seminar ini mengandung pesan bahwa kerja sama serta sinergi antara perguruan tinggi dan para tokoh lintas agama dapat membawa kepada kehidupan yang lebih baik berdasarkan kemanusiaan, demokrasi, persamaan, dan keberpihakan.
"Tekad untuk menyatukan pikiran dan hati akan kita deklarasikan dalam seminar ini dan akan kita wujudkan berbagai bentuk kerja sama yang akan kita kerjakan esok dan di masa masa mendatang," kata dia.
Dalam seminar tersebut hadir perwakilan ormas dan para tokoh agama seperti Persekutuan Gereja-Gereja di Indonesia, Nahdlatul Ulama, Majelis Tinggi Agama Konghucu, Parisada Hindu Dharma Indonesia, Persatuan Umat Buddha, hingga Majelis Luhur Kepercayaan Indonesia.
Mereka saling berbagi pandangan perihal tantangan dan solusi untuk memecahkan berbagai macam konflik kemanusiaan yang terjadi di Tanah Air.
Baca juga: PBNU: Keberagaman di Indonesia adalah hal yang tidak bisa ditolak
Pewarta: Asep Firmansyah
Editor: Triono Subagyo
Copyright © ANTARA 2023