Hal tersebut disampaikan-nya dalam pembukaan seminar nasional dan diskusi buku "Media Massa Nasional Menghadapi Disrupsi Digital" yang diluncurkan dalam rangka Hari Pers Nasional 2023 di Kantor Dewan Pers, Jakarta Pusat, Rabu.
"Yang menjadi persoalan tanggung jawab kita bersama, bagaimana tetap menjaga kualitas kerja-kerja jurnalis dan ini menjadi penting, era boleh berubah, situasi boleh berubah dari analog ke digital, COVID-19 tidak bisa dibendung tapi kerja-kerja jurnalis yang berkualitas tetap menjadi penting," kata Agung yang hadir mewakili Ketua Dewan Pers Ninik Rahayu.
Agung mencatat tiga hal yang perlu dicermati dalam menghadapi era disrupsi digital saat ini yakni, siap kah media menghadapi era disrupsi digital? Lalu, bagaimana peran pemerintah terhadapnya, serta sikap dari pelaku usaha media massa itu sendiri.
Ia menyebut jawaban-jawaban atas hal tersebut didedah dalam buku "Media Massa Nasional Menghadapi Disrupsi Digital" setebal 293 halaman yang ditulis oleh Agus Sudibyo yang merupakan mantan anggota Dewan Pers periode 2019-2022.
Baca juga: Kominfo dorong Dewan Pers hadirkan Hak Cipta Jurnalistik
Baca juga: PWI: Pers nasional hadapi krisis eksistensi akibat disrupsi digital
Sementara itu, Direktur Jenderal Informasi dan Komunikasi Publik Kemenkominfo Usman Kansong mengatakan buku tersebut mendedah pula perlunya membangun kemandirian nisbi media massa dalam menghadapi era disrupsi digital.
Di samping itu, lanjut dia, perlu adanya payung hukum dari pemerintah dalam upaya merawat keberlanjutan media massa di tengah era disrupsi digital.
"Seperti diungkap di buku Mas Agus, ada upaya-upaya yang bersifat mandiri yang dilakukan oleh teman-teman media dalam mempertahankan kelangsungan hidupnya di tengah era disrupsi digital saat ini," ucapnya.
Adapun Ketua Umum Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Pusat Atal S. Depari mengatakan buku tersebut dapat menjadi rujukan bagi insan pers Indonesia karena menyuguhkan pemetaan tentang keadaan industri media Tanah Air saat ini yang tengah menghadapi tekanan-tekanan digital.
Atal berharap di tengah konvergensi disrupsi digital saat ini, yang terjadi justru bukan disrupsi total yang menyebabkan matinya seluruh media massa konvensional. Melainkan, melahirkan sebuah keseimbangan baru (new equilibrium) yang memungkinkan media lama hidup berdampingan dengan media baru.
"Bahwa media konvensional dapat hidup berdampingan dengan media sosial jika perlu keduanya berkolaborasi, iklim yang saling menguntungkan dan bersama-sama mencerahkan masyarakat," tuturnya.
Ia juga menambahkan bahwa di tengah kegelisahan masyarakat atas terpaan arus informasi yang membawa muatan-muatan konfliktual dan berpotensi memecah belah masyarakat di platform digital, keberadaan pers justru semakin dibutuhkan dan media massa menemukan relevansi-nya kembali.
Baca juga: Erick Thohir imbau publik antisipasi gelombang kedua disrupsi digital
Kepala Monumen Pers Nasional Widodo Hastjaryo menganalogikan disrupsi digital sebagai dua mata pisau yang bergantung pada pemaknaan individu itu sendiri dalam memanfaatkannya. Untuk itu, ia menilai buku "Media Massa Nasional Menghadapi Disrupsi Digital" dapat menjadi petunjuk arah bagi industri media massa dan insan pers dalam negeri.
"Menjelaskan seluk beluk dinamika yang terjadi dalam industri media saat ini bagaimana dominasi platform digital sangat berpengaruh terhadap eksistensi industri media pada disrupsi teknologi dan peran algoritma menjadi vital dalam pengelolaan media massa dalam beberapa waktu ke depan sehingga dapat memberikan banyak wawasan," tutur Widodo.
Dalam acara diskusi tersebut turut hadir pula, Rektor Universitas Multimedia Nusantara (UMN) Ninok Leksono, Ketua Dewan Pengurus Forum Pemimpin Redaksi (Forum Pemred) Arifin Asydhad, mantan Anggota Dewan Pers Agus Sudibyo, hingga mantan Ketua Dewan Pers dan Ketua Mahkamah Agung Prof. Bagir Manan dan perwakilan pimpinan redaksi media massa nasional lainnya.
Pewarta: Melalusa Susthira Khalida
Editor: Chandra Hamdani Noor
Copyright © ANTARA 2023