Wakil Ketua MPR RI Ahmad Basarah mengatakan penetapan Tahun Baru Imlek sebagai hari libur nasional bertujuan untuk mewujudkan sikap saling menghargai budaya, etnis, ras, dan agama yang beragam di Indonesia.
"Ibu Megawati (Presiden ke-5 RI) menetapkan Imlek sebagai hari libur nasional agar kita memahami seluruh khazanah kebudayaan kita yang terbentuk bukan tunggal, tetapi sangat heterogen dan membentuk satu watak, satu kultur bangsa Indonesia, satu Indonesia," kata Basarah dalam keterangan tertulis yang diterima di Jakarta, Minggu.
Dia menambahkan kebijakan penetapan Imlek sebagai hari libur nasional itu pun dapat disebut sebagai bentuk keberpihakan Megawati terhadap kelompok minoritas, dalam hal ini masyarakat Tionghoa.
Basarah juga menjelaskan peran sejumlah presiden terkait perayaan Imlek. Pertama ialah Presiden RI Soekarno yang pada 1946 menerbitkan Penetapan Pemerintah Nomor 2/OEM-1946 tentang Hari-Hari Raya Umat Beragama.
Pada Pasal 4 Penetapan Pemerintah tersebut dijelaskan empat hari raya bagi warga Tionghoa, yaitu Tahun Baru Imlek, Hari Wafat Khonghucu, Ceng Beng, dan Hari Lahir Khonghucu.
"Namun, di era Presiden Soeharto, terjadi pembatasan perayaan Imlek. Situasi ini kemudian berubah di era reformasi," kata Basarah.
Baca juga: Jemaat Vihara Dharma Bhakti diimbau disiplin protokol kesehatan
Kedua adalah pada masa pemerintahan Presiden ke-4 RI Abdurrahman Wahid atau Gus Dur, yang mencabut aturan larangan merayakan Imlek karena tidak ingin ada diskriminasi terhadap warga China.
Kemudian, pada 17 Januari 2000, Gus Dur menerbitkan Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 6 Tahun 2000 tentang Pencabutan Inpres Nomor 14 Tahun 1967.
Dengan demikian, masyarakat Tionghoa diberi kebebasan untuk menganut agama, kepercayaan, dan adat istiadat mereka, termasuk merayakan upacara-upacara agama, seperti Imlek dan Cap Go Meh, secara terbuka.
Di era Gus Dur itu pula ada Keputusan Menteri Agama Nomor 13 Tahun 2001 tentang Penetapan Hari Raya Imlek sebagai Hari Libur Nasional Fakultatif pada 19 Januari 2001.
Akhirnya, peran keempat ialah pada masa pemerintahan Presiden ke-5 RI Megawati Soekarnoputri, di mana perayaan Imlek ditetapkan sebagai hari libur nasional melalui Keppres Nomor 19 Tahun 2002.
"Kebijakan Presiden Abdurrahman Wahid menghapuskan larangan merayakan Imlek pada tahun 2000 disempurnakan oleh Presiden Megawati melalui Keppres Nomor 12 Tahun 2002. Keppres yang memberi kesempatan pada masyarakat Tionghoa merayakan Imlek karena hari tersebut ditetapkan sebagai libur nasional," ujar Basarah.
Dia pun mengucapkan selamat merayakan Tahun Baru Imlek kepada seluruh umat Konghucu. Di tahun yang ditandai dengan shio Kelinci ini, Basarah berharap Indonesia dapat bersiap menghadapi potensi krisis ekonomi atau resesi global yang berdampak terhadap Tanah Air.
Baca juga: Bupati Kapuas Hulu: Imlek momentum merawat keberagaman
Baca juga: 1.500 personel Kepolisian jaga 44 vihara dan klenteng di Jakut
"Ibu Megawati (Presiden ke-5 RI) menetapkan Imlek sebagai hari libur nasional agar kita memahami seluruh khazanah kebudayaan kita yang terbentuk bukan tunggal, tetapi sangat heterogen dan membentuk satu watak, satu kultur bangsa Indonesia, satu Indonesia," kata Basarah dalam keterangan tertulis yang diterima di Jakarta, Minggu.
Dia menambahkan kebijakan penetapan Imlek sebagai hari libur nasional itu pun dapat disebut sebagai bentuk keberpihakan Megawati terhadap kelompok minoritas, dalam hal ini masyarakat Tionghoa.
Basarah juga menjelaskan peran sejumlah presiden terkait perayaan Imlek. Pertama ialah Presiden RI Soekarno yang pada 1946 menerbitkan Penetapan Pemerintah Nomor 2/OEM-1946 tentang Hari-Hari Raya Umat Beragama.
Pada Pasal 4 Penetapan Pemerintah tersebut dijelaskan empat hari raya bagi warga Tionghoa, yaitu Tahun Baru Imlek, Hari Wafat Khonghucu, Ceng Beng, dan Hari Lahir Khonghucu.
"Namun, di era Presiden Soeharto, terjadi pembatasan perayaan Imlek. Situasi ini kemudian berubah di era reformasi," kata Basarah.
Baca juga: Jemaat Vihara Dharma Bhakti diimbau disiplin protokol kesehatan
Kedua adalah pada masa pemerintahan Presiden ke-4 RI Abdurrahman Wahid atau Gus Dur, yang mencabut aturan larangan merayakan Imlek karena tidak ingin ada diskriminasi terhadap warga China.
Kemudian, pada 17 Januari 2000, Gus Dur menerbitkan Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 6 Tahun 2000 tentang Pencabutan Inpres Nomor 14 Tahun 1967.
Dengan demikian, masyarakat Tionghoa diberi kebebasan untuk menganut agama, kepercayaan, dan adat istiadat mereka, termasuk merayakan upacara-upacara agama, seperti Imlek dan Cap Go Meh, secara terbuka.
Di era Gus Dur itu pula ada Keputusan Menteri Agama Nomor 13 Tahun 2001 tentang Penetapan Hari Raya Imlek sebagai Hari Libur Nasional Fakultatif pada 19 Januari 2001.
Akhirnya, peran keempat ialah pada masa pemerintahan Presiden ke-5 RI Megawati Soekarnoputri, di mana perayaan Imlek ditetapkan sebagai hari libur nasional melalui Keppres Nomor 19 Tahun 2002.
"Kebijakan Presiden Abdurrahman Wahid menghapuskan larangan merayakan Imlek pada tahun 2000 disempurnakan oleh Presiden Megawati melalui Keppres Nomor 12 Tahun 2002. Keppres yang memberi kesempatan pada masyarakat Tionghoa merayakan Imlek karena hari tersebut ditetapkan sebagai libur nasional," ujar Basarah.
Dia pun mengucapkan selamat merayakan Tahun Baru Imlek kepada seluruh umat Konghucu. Di tahun yang ditandai dengan shio Kelinci ini, Basarah berharap Indonesia dapat bersiap menghadapi potensi krisis ekonomi atau resesi global yang berdampak terhadap Tanah Air.
Baca juga: Bupati Kapuas Hulu: Imlek momentum merawat keberagaman
Baca juga: 1.500 personel Kepolisian jaga 44 vihara dan klenteng di Jakut
Pewarta: Tri Meilani Ameliya
Editor: Fransiska Ninditya
Copyright © ANTARA 2023