... warga bangga bisa merayakan Imlek tahun ini dengan menghias kota secantik-cantiknya.

Singkawang (ANTARA) - Gerbang Cap Go Meh berwarna merah dengan ornamen naga dalam rangka baja di sisi kiri dan kanan, menjadi tanda Kota Singkawang tengah bersolek guna menyambut Tahun Baru Imlek 2574.

Kemeriahan menyambut tahun baru dalam penanggalan Imlek makin terasa saat memasuki kota yang terletak di wilayah utara Kalimantan Barat itu.

Gantungan lampion, ornamen patung sepasang kelinci dan anak-anaknya, pohon Mei tiruan, dan hiasan lainnya saling melengkapi mengisi nuansa cerah. Warna merah, oranye, dan kuning mendominasi di banyak tempat sejak memasuki kota hingga di pusatnya.

Hiasan-hiasan berwarna cerah itu seakan ingin menunjukkan keindahannya yang membuat tiap-tiap orang yang melintasi akan melihat dan terkesan dengan penampilannya. Lantas mengabadikan melalui kamera foto dan video. Suasana itu dapat ditemui di banyak lokasi hingga ke kampung-kampung setempat.

Saat masuk kota berpenduduk sekitar 235.064 jiwa (data BPS 2020) ini, atau selepas dari gerbang Cap Go Meh, ada Kampung Kali Asin Luar, Kelurahan Sedau, yang mayoritas penduduknya etnis Tionghoa. Kampung ini berada di sisi kanan dari arah luar kota Singkawang.

Kali Asin dikenal sebagai kampung etnis Tionghoa zaman kolonial. Dahulu, kampung ini menjadi sentra produksi garam. Kampung ini menjadi heritage (warisan) Pecinan Jam Tang (penggilingan garam). Bangunan yang ada di sana dilindungi oleh UU tentang Cagar Budaya Tahun 2010.

Warga kampung ini selalu menghias rumah juga taman yang berada di pintu masuk kampung pada setiap perayaan Imlek. Warga kampung bahu-membahu menghias taman dan rumah sejak dahulu kala walau dengan hiasan sederhana buatan warga setempat.

Salah seorang tokoh masyarakat Kali Asin Luar, Susi WU, menyatakan kampung itu selalu berhias sejak leluhur mereka tinggal di sana. Kebiasaan menghias kampung terus dilestarikan keturunan selanjutnya selama 33 tahun terakhir. Leluhur penduduk setempat berasal dari Suku Hakka di Tiongkok.

"Saya ingat sejak kecil ikut menghias taman kampung dengan hiasan seadanya yang ditancapkan ke tanah," katanya saat ditemui di kampung Kali Asin, Jumat pekan ini.

Tak berbeda jauh dengan kampung itu, ketika masuk lebih dalam ke Kota Singkawang, terdapat deretan lampion dan patung kelinci, serta ornamen lainnya di berbagai sudut kota.

Di tengah kota yang menjadi pusat perayaan Imlek, yakni kelenteng Tri Dharma Bumi Raya, di pertigaan Jalan Niaga- Sejahtera-Budi Utomo, tak kalah semarak, karena juga dihiasi dengan lampion warna pelangi.

Suasana kian meriah dan warna warni terutama saat malam hari. Karena lampion dan lampu-lampu hias menyala membelah jalan-jalan di dalam kota berjarak 145 kilometer dari Pontianak ini.

"Mei Hwa" atau pohon Mei yang selalu memekarkan bunga berwarna merah muda saat musim dingin dan cuaca ekstrem, terlihat sangat kontras dengan kondisi yang ada ketika itu, juga menjadi hiasan yang tak kalah menarik menyambut tahun Imlek 2574 ini.

Saat perayaan Imlek, hiasan pohon Mei memang selalu ada karena menjadi simbol harapan menyongsong tahun yang baru. Di Tiongkok, pohon Mei dapat tumbuh cantik dengan bunga berwarna merah muda (pink) walau ketika itu sedang musim salju.

Penduduk Kota Singkawang, Pak Alin (85), merasa bangga warga setempat bisa merayakan Imlek tahun ini dengan menghias kota secantik-cantiknya. Selama puluhan tahun, dia selalu bahagia dapat merayakan Imlek di kampung halamannya ini bersama lima anak dan delapan cucu.

Kemeriahan perayaan Imlek ini akan tiba pada puncaknya Sabtu (21-1) tengah malam nanti. Ribuan warga Tionghoa akan bersembahyang di kelenteng di pinggiran kota maupun di pusat kota setempat.

Juga ada pesta kembang api yang disimbolkan mengusir makhluk jahat yang dikhawatirkan akan mengganggu umat pada satu tahun ke depan.


Festival musim semi

Dalam tradisi leluhur di Tiongkok, Tahun Baru Imlek berarti Festival Musim Semi.

Festival ini berlangsung turun-temurun dan menjadi tradisi yang mengakar. Masyarakat Tiongkok, yang sebagian besar bekerja sebagai petani, menyambut musim semi dengan harapan dan semangat baru sehingga merayakan dalam bentuk festival dan penuh kemeriahan.

XF Asali atau Lie Sau Fat, seorang tokoh Tionghoa Kalbar, dalam bukunya berjudul Aneka Budaya Tionghoa Kalbar terbit tahun 2008, menyebut perayaan Imlek sebagai Chun Ciek.

Itu juga untuk menyambut musim semi guna memulai aktivitas bertani (bagi masyarakat agraris), kegembiraan, dan kebahagiaan yang harus dirayakan. Tradisi ini terbawa sampai sekarang sekalipun masyarakat sudah tidak bertani, sedangkan di Indonesia tak ada musim semi.

Penanggalan Imlek berasal dari dua kata, yakni Im atau penanggalan dan Lek atau bulan sehingga penanggalan Imlek adalah penanggalan berdasarkan peredaran bulan. Perayaan penanggalan Imlek sudah ada sejak ribuan tahun lalu dan turun-temurun hingga kini.

Bagi warga Tionghoa yang masih mempertahankan tradisi leluhur, mereka selalu merayakan tahun baru bersama keluarga. Mereka yang berada di perantauan akan untuk pulang kampung bertemu orang tua dan keluarga besarnya.

Mereka berkumpul dan makan bersama dalam ritual keluarga saat siang atau sore hari sebelum tibanya malam pergantian tahun.

Untuk menyambut warga yang pulang kampung dan wisatawan, pemerintah kota menggelar pentas seni dan budaya di Stadion Kridasana Singkawang. Kegiatan ini selama 15 hari, yakni sejak tanggal 20 Januari sampai 6 Februari 2023. Stadion yang berada di tengah kota itu juga dipenuhi hiasan simbol Imlek.

Selain itu juga ada panggung hiburan dan pameran UMKM dan ornamen Kampung Tionghoa.

Pelaksana Tugas (Plt) Wali Kota Singkawang Sumastro menyatakan bersyukur perayaan Imlek dan disusul Cap Go Meh pada hari ke-15 Imlek dapat kembali dilaksanakan seperti biasanya sebelum pandemi COVID-19 setelah Pemerintah Pusat mencabut PPKM. Kegiatan ini kembali digelar setelah hampir 3 tahun tidak ada perayaan secara meriah.

Perayaan Imlek tidak hanya menjadi agenda tahunan Kota Singkawang karena juga telah menjadi kegiatan serta agenda nasional dan dirayakan secara meriah di sejumlah kota di Indonesia.

Karena itu, bersolek dan mempercantik kota demi menyambut penduduk yang pulang dari merantau dan wisatawan yang berkunjung ke sana, itu bukan tindakan yang berlebihan.

Mereka patut merayakan lebih meriah setelah terkungkung selama hampir 3 tahun akibat didera pandemi COVID-19.

Editor: Achmad Zaenal M

Editor: Achmad Zaenal M
Copyright © ANTARA 2023