Semarang (ANTARA) - Dua tahun lebih pandemi COVID-19 nyaris meluluhlantakkan semua sendi kehidupan. Dampak pandemi COVID-19 mulai dari sektor kesehatan, sosial, hingga perekonomian dirasakan seluruh dunia, termasuk Indonesia.
Perekonomian, terutama sektor perdagangan, terguncang karena interaksi manusia dibatasi, pasar-pasar ditutup, dan banyak pemilik usaha yang terpaksa tiarap sampai gulung tikar.
Putri Merdekawati merupakan salah satu pelaku usaha mikro kecil dan menengah (UMKM) di Semarang yang terdampak pandemi. Bahkan, omzetnya sampai merosot hingga 80 persen pada April 2020.
Batik siPutri, UMKM yang dirintisnya sejak 2017 benar-benar kehilangan pangsa pasar. Usahanya selama ini bersifat "offline", seperti lewat gerai, pameran, relasi, hingga "door to door".
"April 2020 itu bener-bener 'zonk'. Saya mikir keras bagaimana berjuang mengatasi ini. Puji Tuhan, teman-teman (karyawan, red.) masih bertahan," ujar ibu satu putri itu.
Mau tidak mau, Putri harus memutar otak agar usahanya tetap berjalan, yakni dengan memanfaatkan pemasaran secara "online" melalui media sosial, "markeplace", dan situs "e-commerce" yang ada.
Diakuinya, UMKM-nya sebenarnya sudah lama memiliki akun medsos dan "marketplace", tetapi nyaris tak pernah disentuh karena Putri lebih asyik berkutat dengan pesanan yang masuk secara "offline".
Namun demikian, bukan perkara mudah untuk mengubah pola pikir lama yang sudah terbiasa dengan pemasaran "offline". Apalagi, untuk produk-produk "ecofashion" yang bukan produk umum dan universal.
Batik yang diproduksi perempuan kelahiran Sleman, 17 Agustus 1979 itu memang berbeda dari produk batik biasanya karena menggunakan bahan pewarna alami demi menjaga kelestarian lingkungan.
Putri pun aktif mengikuti berbagai pelatihan yang digelar Rumah BUMN Semarang, khususnya soal pemasaran digital. Tak mau pintar sendiri, Putri juga mengajak para karyawannya ikut pelatihan.
Medsos dan "marketplace" yang dimiliki Putri mulai diaktivasi dan dikelola untuk pemasaran. Karyawan juga turut diedukasi karena karakteristik pemasaran digital jauh berbeda dengan sebelumnya.
Pelan tapi pasti karena transformasi butuh adaptasi, usaha Putri mulai menampakkan hasil. Setelah delapan bulan, pelanggan pertama yang berasal dari Kanada mengorder lewat Instagram pada Desember 2020.
"Kalau omzet enggak kayak dulu lagi ya. Sebelum pandemi itu bisa kalau Rp50 juta per bulan. Sekarang, kadang Rp20 juta, Rp25 juta, Rp18 juta, ndak mesti. Puji Tuhan, yang penting cukup buat beli bahan sama gaji," pungkas Putri.
Semangat pendatang baru
Dampak positif dari transformasi digital juga turut dirasakan Silvia Wibisari (27) yang relatif baru terjun di dunia UMKM dengan membuat produk kerajinan tas berlabel "Capella Luxury".
Berbekal semangat untuk menambah pundi-pundi rezeki dan keterampilan merajut, bungsu dari dua bersaudara itu memilih plastik polymer sebagai bahan baku tas yang diproduksinya.
Sejak dirintis Januari 2021, perempuan yang akrab disapa Silvi itu kini sudah menerima cukup banyak pesanan tas rajut beraneka model dengan harga bervariasi antara Rp85.000 hingga Rp350.000.
"Sekarang sudah ada 28 model tas. Modelnya terinspirasi sama tas-tas 'luxury', kadang saya bikin sendiri, kombinasi. Produksinya tidak setiap hari, tergantung stok dan pesanan," jelasnya.
Namun, Silvi mengakui bahwa semua tidak bisa instan, melainkan butuh proses bertahap yang membutuhkan waktu. Belajar wirausaha adalah salah satu proses yang harus dilaluinya dalam memulai bisnis.
Secara kebetulan, putri pasangan Subiyanto dan (almarhumah) Sri Susiwi itu mengetahui keberadaan Rumah BUMN yang bernaung di bawah Bank BRI dan secara aktif mengikuti berbagai pelatihan yang digelar.
Pelatihan membuat konten, fotografi, pemasaran digital, dasar-dasar menjadi pengusaha, hingga pelatihan ekspor-impor diikutinya di sela kesibukannya bekerja di SMK Pelayaran Semarang.
Sarjana pendidikan lulusan Universitas Veteran Semarang (dulu IKIP Veteran) itu pun tak perlu mengalokasikan anggaran berlebih untuk serangkaian pelatihan itu karena bersifat gratis.
Sebagai sarana pemasaran "online" untuk produk-produknya, Silvi memanfaatkan akun medsosnya di Facebook dan Instagram, serta "marketplace" di Shopee, sembari tetap melayani pemasaran konvensional.
Butuh waktu sekitar 2-3 bulan bagi perempuan kelahiran Semarang, 24 Oktober 1995 itu untuk menyiapkan ruang bisnis digitalnya, mulai foto-foto produk hingga membuat konten di medsos.
Hasilnya, omzet Silvia perlahan merayap naik, dari semula sekitar Rp300.000-400.000 per bulan yang berjalan sekitar tiga bulanan, saat ini sudah di atas Rp1 juta per bulan.
Pada Desember 2022, produk kerajinannya lolos kurasi yang membawa Silvi tampil pada UMKM EXPO(RT) Brilianpreneur 2022 di Jakarta bersama UMKM-UMKM lainnya se-Indonesia.
"Sebenarnya saya ini UMKM masih skala kecil. Saya malah ingin mengajari anak-anak berkebutuhan khusus karena mereka ini punya potensi yang kalau bisa dikembangkan akan menjadi sesuatu," ungkap Silvi.
Rumah BUMN sebagai fasilitator
Progres UMKM di Semarang bertransformasi digital tentunya tidak bisa dilepaskan dari peran Rumah BUMN Semarang yang didirikan Bank BRI sejak 2017 untuk memfasilitasi para pelaku usaha.
Sampai saat ini, tercatat sudah ada sekitar 600 UMKM yang telah difasilitasi oleh Rumah BUMN Semarang dengan berbagai pelatihan sesuai dengan yang dibutuhkan oleh para pelaku UMKM.
Koordinator Rumah BUMN Semarang Muhamad Rizal mempersilakan siapapun yang memiliki usaha untuk bergabung. Tidak ada syarat minimal omzet, cukup membawa Kartu Tanda Penduduk (KTP).
"Malah sasaran kami UMKM yang masih kecil. Kami akan fasilitasi dengan berbagai pelatihan, seperti pelatihan bikin konten, pelatihan foto dan video produk, 'digital marketing', sampai 'packaging'," ujar Rizal.
Rumah BUMN Semarang yang secara koordinasi berada di bawah Kantor Cabang BRI Pandanaran Semarang selama ini aktif menggelar berbagai pelatihan yang dibutuhkan kalangan UMKM.
Setiap bulan ada 5-10 kali pelatihan dengan tema yang berbeda-beda sesuai dengan yang diminta para pelaku UMKM. Malah, sebut Rizal, pernah dalam sebulan ada yang sampai 27 kali pelatihan.
Bahkan, jika memang belum punya akun medsos maupun "marketplace" untuk mempromosikan produknya akan dibuatkan dan didampingi langsung oleh mentor dari situs belanja yang dimaksud.
Tak hanya memberikan pelatihan, Rumah BUMN juga memfasilitasi pelaku UMKM untuk mengikuti pameran maupun expo saat ada even-even besar, seperti Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) G20 Bali 2022.
Produk-produk UMKM yang terpilih dikurasi untuk ditampilkan pada rapat para kepala dan pemerintahan yang digelar di Pulau Dewata itu sehingga produk lokal bisa mendunia.
"Desember tahun lalu juga ada UMKM EXPO(RT) Brilianpreneur 2022. Ada beberapa UMKM dari Semarang yang ikut, salah satunya Capella Luxury punya Mbak Silvi," sebut Rizal.
Pandemi COVID-19 memang menyebabkan banyak kegiatan perekonomian remuk, tetapi tanpa disadari turut berkontribusi mempercepat transformasi digital, termasuk di kalangan pelaku UMKM.
Meski sempat babak belur akibat dihantam Corona, UMKM perlahan mulai bangkit dan bergeliat dengan memanfaatkan transformasi digital yang memang hadir sebagai keniscayaan.
Sektor UMKM Indonesia memang terkenal tangguh. Tercatat, UMKM juga pernah menjadi penyelamat ekonomi saat krisis ekonomi menerjang Indonesia pada 1998 di saat sektor ekonomi lain tumbang.
Editor: Slamet Hadi Purnomo
Copyright © ANTARA 2023