Jakarta (ANTARA) - Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) mengatakan audit kasus stunting banyak membantu pemerintah dalam membuka kesalahan dalam pola asuh yang diberikan keluarga kepada anak.
“Kita jangan tenang-tenang, stunting itu cepat dan hanya bisa ditangani sampai anak usia dua tahun. Oleh karena itu, saya minta kasus ini harus diaudit tapi bukan seperti uang, melainkan medical record,” kata Kepala BKKBN Hasto Wardoyo dalam Waktu Indonesia Berencana (WIB) yang disiarkan di Jakarta, Jumat.
Ia menekankan jika audit kasus stunting merupakan audit yang dilakukan secara klinis, dengan bantuan para ahli untuk mendapatkan rekomendasi yang tepat dalam menangani stunting di daerah.
Kegiatan yang mulai digencarkan sejak April 2022 itu, mulai memberikan hasil nyata dari penyebab anak terkena stunting.
Misalnya berat badan anak tidak bertambah akibat diare. Dalam penelusuran audit kasus stunting, baru diketahui jika keluarga di beberapa wilayah, tinggal dalam rumah yang memiliki sumber air dipenuhi bakteri akibat perilaku Buang Air Besar Sembarangan (BABS) di sungai.
Baca juga: BKKBN: Dispensasi tak bisa dijadikan ukuran naiknya kasus kawin dini
Penyebab lainnya adalah jarak antarrumah yang berdesak-desakan, sehingga membuat jarak sumur dan tempat warga membangun jamban berdekatan sehingga bakteri dalam feses tetap mencemari air.
“Harapan saya di tahun 2023 mereka yang tidak teratasi ini, (pemeriksaan di, red.) posyandu bisa mendekati 100 persen. Kalau ditimbang dan tidak naik harapan saya sudah harus waspada, kalau perlu segera diaudit itu kan konsultasi,” ujarnya.
Penyebab stunting lain yang ditemukan dalam audit, yakni tingginya TBC pada anak. Nantinya, temuan ini akan dibicarakan dengan Kementerian Kesehatan maupun Dinkes terkait, supaya penanganan TBC bisa betul-betul lebih diperhatikan.
BKKBN akan memberikan rekomendasi melalui konsultasi dengan para ahli dalam audit, untuk bisa lebih menggencarkan pemberian imunisasi dasar seperti pemberian vaksin BCG yang bisa meminimalisasi risiko TBC pada bayi, termasuk pelacakan kontak erat di sekitar rumah.
Penemuan dalam audit lainnya, yakni adanya pemberian makanan tambahan yang diberikan pada anak masih mengandung banyak gula seperti teh manis. Hal tersebut membuktikan bahwa edukasi terkait gizi dan Makanan Pendamping ASI (MPASI) di tingkat keluarga masih rendah.
Padahal jika anak yang seharusnya masih membutuhkan ASI eksklusif sudah mengenal gula, maka anak lebih tertarik minum teh manis karena rasa manisnya yang membuat anak kecanduan gula.
Hasto mengatakan tindak lanjut yang nantinya diberikan adalah mengedukasi menu sehat yang tepat, melalui konsumsi protein hewani ataupun nabati seperti penggunaan telur, ikan atau daun kelor.
"Tapi kalau habis makan dikasih teh manis kan tidak bagus. Hal seperti itu yang harus dijadikan tindak lanjut audit. Jadi kita melacak melalui audit penyebabnya, jangan dibiarkan saja. Saya harap banyak kasus stunting yang lebih dibicarakan pada tahun 2023,” kata dia.
Baca juga: BKKBN: Kewaspadaan ciptakan kehamilan sehat cegah stunting pada anak
Baca juga: BKKBN: Penanganan stunting 2023 fokus pada rumah tak layak huni
Baca juga: BKKBN dorong adanya pendidikan seksualitas secara komprehensif
Pewarta: Hreeloita Dharma Shanti
Editor: M. Hari Atmoko
Copyright © ANTARA 2023