Jakarta (ANTARA) - Sebuah studi baru menemukan orang yang kurang berpendidikan berisiko lebih tinggi terkena demensia frontotemporal.
University of Eastern Finland menerbitkan studi yang menunjukkan bagaimana latar belakang pendidikan seseorang mempengaruhi risiko demensia bersamaan dengan cedera otak traumatis.
Baca juga: Studi baru: Demensia dapat dideteksi sembilan tahun sebelum diagnosis
Frontotemporal dementia (demensia frontotemporal atau FTD) adalah jenis demensia yang mempengaruhi bagian depan (frontal) dan/atau samping otak.
Penyakit ini dapat menimbulkan gangguan pada kepribadian, perilaku, dan kemampuan berbahasa seseorang.
Dikutip dari Medical Health pada Kamis, orang yang mengalami penyakit ini, bagian dari otak yang terkena akan mengalami penyusutan.
Gejala yang ditimbulkan hampir serupa dengan masalah kejiwaan, sehingga sering kali salah diagnosis.
Hal yang membedakan demensia ini dengan jenis lainnya adalah rentan menyerang orang yang berusia lebih muda, yakni sekitar 40 hingga 65 tahun. Sementara demensia jenis lain biasanya menyerang orang berusia 65 tahun ke atas.
Menurut studi, rata-rata orang yang mengidap FTD kurang berpendidikan dibandingkan pasien dengan penyakit Alzheimer.
Para peneliti memeriksa data dari lebih dari 1.000 pasien, termasuk dari Finlandia dan Italia, dengan subtipe FTD yang paling umum.
Hasil penelitian ini dipublikasikan dalam jurnal “Annals of Clinical and Translational Neurology”.
Baca juga: Dokter sebut penting deteksi dini cegah demensia
Baca juga: Studi: Satu dari 10 lansia di AS menderita demensia
Baca juga: Begini perawatan yang dapat dilakukan pada orang dengan demensia
Tes
Sementara Mayo Clinic melaporkan bahwa tidak ada tes tunggal untuk mendiagnosis demensia frontotemporal.
Para dokter akan mencari tanda dan gejala penyakit dan mencoba menyingkirkan kemungkinan penyebab lainnya.
Gangguan ini bisa sangat menantang untuk didiagnosis sejak dini karena gejala demensia frontotemporal sering tumpang tindih dengan kondisi lain, sehingga perlu beberapa pemeriksaan untuk menentukan pasien terkena FTD atau penyakit lainya.
Tes darah
Untuk membantu mengesampingkan kondisi lain, seperti penyakit hati atau ginjal, dokter mungkin akan meminta pasien untuk tes darah.
Studi pola tidur
Beberapa gejala gangguan tidur (gangguan memori, pola berpikir dan perubahan perilaku) mirip dengan gejala FTD. Jika pasien memiliki gejala gangguan tidur lainya seperti mendengkur keras dan berhenti bernapas saat tidur, dokter mungkin akan meminta pasien mempelajari pola tidurnya.
Tes neuropsikologis
Terkadang dokter secara ekstensif juga akan menguji kemampuan penalaran dan ingatan pasien.
Jenis pengujian ini sangat membantu dalam menentukan jenis demensia pada tahap awal dan membedakan demensia frontotemporal dari demensia lainnya.
Pindai otak
Dengan memindai dan melihat gambar otak pasien, dokter dapat menunjukkan kondisi yang terlihat – seperti pembekuan darah, pendarahan atau tumor yang mungkin menyebabkan tanda dan gejala.
Cara memindai otak atau brain scan pertama dapat dilakukan dengan mesin MRI. Mungkin sudah tidak asing lagi di Indonesia, MRI menggunakan gelombang radio dan medan magnet yang kuat sehingga dapat menghasilkan gambar detail otak.
- Fluorodeoxyglucose positron emission tracer (FDG-PET) scan.
Tes ini menggunakan pelacak radioaktif tingkat rendah yang disuntikkan ke dalam darah. Pelacak dapat membantu menunjukkan area otak di mana kekurangan nutrisi metabolisme. Area dengan metabolisme rendah dapat menunjukkan di mana terjadi degenerasi di otak, yang dapat membantu dokter mendiagnosis jenis demensia.
Baca juga: Pakar China kembangkan model prediksi risiko demensia baru
Baca juga: Dokter: Pasien demensia paling ideal dirawat oleh keluarga
Baca juga: Pentingnya perawatan pascadiagnosis bagi penyandang Alzheimer
Penerjemah: Pamela Sakina
Editor: Ida Nurcahyani
Copyright © ANTARA 2023