Tes

Sementara Mayo Clinic melaporkan bahwa tidak ada tes tunggal untuk mendiagnosis demensia frontotemporal.

Para dokter akan mencari tanda dan gejala penyakit dan mencoba menyingkirkan kemungkinan penyebab lainnya.

Gangguan ini bisa sangat menantang untuk didiagnosis sejak dini karena gejala demensia frontotemporal sering tumpang tindih dengan kondisi lain, sehingga perlu beberapa pemeriksaan untuk menentukan pasien terkena FTD atau penyakit lainya.

Tes darah
Untuk membantu mengesampingkan kondisi lain, seperti penyakit hati atau ginjal, dokter mungkin akan meminta pasien untuk tes darah.

Studi pola tidur
Beberapa gejala gangguan tidur (gangguan memori, pola berpikir dan perubahan perilaku) mirip dengan gejala FTD. Jika pasien memiliki gejala gangguan tidur lainya seperti mendengkur keras dan berhenti bernapas saat tidur, dokter mungkin akan meminta pasien mempelajari pola tidurnya.

Tes neuropsikologis
Terkadang dokter secara ekstensif juga akan menguji kemampuan penalaran dan ingatan pasien.

Jenis pengujian ini sangat membantu dalam menentukan jenis demensia pada tahap awal dan membedakan demensia frontotemporal dari demensia lainnya.

Pindai otak
Dengan memindai dan melihat gambar otak pasien, dokter dapat menunjukkan kondisi yang terlihat – seperti pembekuan darah, pendarahan atau tumor yang mungkin menyebabkan tanda dan gejala.

- Magnetic resonance imaging (MRI)
Cara memindai otak atau brain scan pertama dapat dilakukan dengan mesin MRI. Mungkin sudah tidak asing lagi di Indonesia, MRI menggunakan gelombang radio dan medan magnet yang kuat sehingga dapat menghasilkan gambar detail otak.

- Fluorodeoxyglucose positron emission tracer (FDG-PET) scan.
Tes ini menggunakan pelacak radioaktif tingkat rendah yang disuntikkan ke dalam darah. Pelacak dapat membantu menunjukkan area otak di mana kekurangan nutrisi metabolisme. Area dengan metabolisme rendah dapat menunjukkan di mana terjadi degenerasi di otak, yang dapat membantu dokter mendiagnosis jenis demensia.

Baca juga: Pakar China kembangkan model prediksi risiko demensia baru

Baca juga: Dokter: Pasien demensia paling ideal dirawat oleh keluarga

Baca juga: Pentingnya perawatan pascadiagnosis bagi penyandang Alzheimer

Penerjemah: Pamela Sakina
Editor: Ida Nurcahyani
Copyright © ANTARA 2023