Jakarta (ANTARA News) - Pemerintah Indonesia menyesalkan Presiden Taiwan Chen Shui-Bian yang pada Kamis (11/5) siang tiba di Batam, Propinsi Kepulauan Riau, karena alasan teknis pendaratan pesawat, tidak segera meninggalkan Batam dan bahkan melakukan kegiatan di luar alasan teknis tersebut. Departemen Luar Negeri Indonesia, sementara itu menegaskan bahwa Indonesia tetap menganut kebijakan politik luar negeri "Kebijakan Satu Cina", yaitu tidak mengakui Taiwan sebagai negara. "Kita menyesalkan bahwa pesawat tersebut tinggal lebih lama setelah pengisian bahan bakar. Kita juga menyesalkan adanya kegiatan yang dilakukan selain pengisian bahan bakar," kata Juru Bicara Deplu, Yuri Octavian Thamrin kepada ANTARA News di Jakarta, Jumat. Presiden Taiwan Chen Shui-Bian Kamis malam bermalam di Batam setelah pesawat yang ditumpanginya, China Airlines CI-1590, mengalami masalah teknis setelah terbang selama delapan jam dari Libia, Afrika Utara dengan tujuan utama menuju Taiwan. Presiden Chen tiba di Batam pada sekitar pukul 14.00 WIB bersama 140 anggota rombongan dan 30 kru pesawat. Pesawat tersebut mendarat di Batam berdasarkan izin yang diberikan Departemen Perhubungan untuk keperluan pengisian bahan bakar. Menurut Yuri, pemimpin Taiwan itu selama di Batam sempat meninjau pelabuhan di bawah pengaturan Kantor Perwakilan Dagang Taiwan di Jakarta. Yuri memastikan bahwa tidak ada pengaturan yang dilakukan oleh Departemen Luar Negeri terhadap kedatangan maupun keberadaan pemimpin Taiwan itu. Ia juga memastikan tidak ada kontak resmi antara delegasi Chen dengan aparat pemerintahan Indonesia. Deplu juga memastikan bahwa pesawat yang membawa Chen Shu-Bian akan berangkat pada Jumat pagi meninggalkan Batam dan mengharapkan kasus tersebut tidak mengakibatkan salah pengertian di pihak RR China. "Kami harapkan tidak terjadi misundestanding (kesalahpahaman, red) dengan RRC karena Indonesia tetap kukuh menganut prinsip One China Policy. Kami berharap hubungan bilateral Indonesia dan China tetap kokoh," katanya.(*)
Editor: Bambang
Copyright © ANTARA 2006