Jakarta (ANTARA News) - Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menunda mengambil keputusan tentang proses hukum terhadap mantan Presiden Soeharto dengan alasan tidak ingin menimbulkan perpecahan di antara kalangan yang pro dan kontra di masyarakat. Namun, Presiden Yudhoyono mengisyaratkan bahwa jika akhirnya proses hukum terhadap Soeharto dihentikan, maka negara tetap berupaya keras, agar aset yayasan-yayasan milik Pak Harto dikembalikan kepada negara. "Saya pilih untuk mengedepankan masalah ini sampai situasinya betul-betul tepat. Saya minta masyarakat kembali tenang dan kita bisa pikirkan bersama nantinya untuk menyelesaikan masalah ini dengan adil, bijak dan tepat," kata Presiden kepada pers di Lanuma Halim Perdana Kusuma, Jakarta, Jumat pagi sebelum bertolak menuju Bali untuk menghadiri KTT D-8. Pengendepanan yang diputuskan Yudhoyono didasarkan atas pengamatannya terhadap perkembangan wacana di masyarakat yang dinilainya makin memunculkan pro dan kontra tentang proses hukum Pak Harto. "Ini justru bisa memunculkan perpecahan. Meskipun tujuan mulia, baik, yaitu meletakkan pemimpin-pemimpin kita di tempat yang tepat, tapi kalau justru memicu perpecahan, kita endapkan, tidak perlu dilakukan secara `grasa-grusu`(buru-buru, red) ," katanya. Presiden Yudhoyono tidak menyebutkan sampai kapan proses pengambilan keputusan itu akan diendapkan. Sementara itu, Kepala Negara juga mengungkapkan bahwa berdasarkan hasil tukar pikiran antara Pemerintah dengan pimpinan lembaga-lembaga negara di Kantor Kepresidenan pada Rabu (10/5) malam, telah disepakati bahwa penyelesaian masalah Soeharto tidak boleh mengorbankan rasa keadilan dan penegakkan hukum. Karena itu, dalam kasus yayasan-yayasan milik Soeharto yang sejak semula merupakan dasar untuk melakukan proses hukum terhadap mantan penguasa Orde Baru itu, Yudhoyono mengatakan, perlu dikembalikan kepada negara. "Jika karena faktor kesehatan yang dikuatkan oleh tim dokter yang memiliki wewenang bahwa proses hukum mantan Presiden Soeharto tidak mungkin lagi dilanjutkan, kami berpikir bahwa yayasan-yayasan benar-benar dapat diserahkan kepada negara," katanya. "Dan apabila ada masalah-masalah yang belum selesai menyangkut aset yayasan itu, misalnya, perlu diteruskan penyelesaiannya agar semua itu kembali kepada negara dan bisa kita gunakan untuk sebesar-besarnya kepentingan rakyat," katanya. Sebagai Kepala Negara, ujar Yudhoyono, ia telah mengajak pimpinan lembaga negara bertukar pikiran untuk meletakkan Soeharto dan sekaligus mantan Presiden Soekarno secara tepat dalam bingkai sejarah Indonesia. Mengapa bukan hanya kepada Pak Harto tetapi juga kepada Bung Karno, Kepala Negara menjelaskan bahwa kedua mantan presiden itu masih menghadapi permasalahannya yang disebutnya `menggantung` berkaitan dengan ketetapan MPR dan MPRS menyangkut keduanya. "Masih ada Tap MPRS tentang mantan Presiden Soekarno yang ada klausul soal hukum, juga Tap MPR yang juga menyangkut aspek hukum terhadap mantan Presiden Soeharto," ujarnya. Ia mengingingkan agar penyikapan terhadap kedua pemimpin Indonesia itu diberikan berdasarkan berbagai aspek, seperti aspek hukum, keadilan, kemanusiaan, dan politik. Berdasarkan rapat konsultasi di Kantor Kepresidenan pada Rabu malam, Presiden belum memutuskan sikap terhadap status hukum Soeharto namun pilihan yang telah ada di atas meja adalah memberikan amnesti; abolisi; penghentian perkara; atau penutupan perkara / deponering terhadap Soeharto. Sementara itu, pada Kamis malam, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono telah menerima rancangan keputusan presiden (keppres) tentang rehabilitasi terhadap mantan Presiden Soeharto dan Soekarno, yang diserahkan Menteri Negara Sekretaris Negara Yusril Ihza Mahendra. Selain rancangan keppres, Yusril juga pada saat yang sama menyerahkan berbagai dokumen yang diperlukan Presiden Yudhoyono untuk menentukan sikap pemerintah terhadap Pak Harto. Sebelumnya, Mensesneg Yusril Ihza Mahendra mengatakan, setelah Jaksa Agung Abdul Rahman Saleh mengeluarkan surat keputusan penghentian penuntutan terhadap mantan Presiden Soeharto, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono akan merehabilitasi nama mantan orang terkuat pada masa Orde Baru itu.(*)

Editor: Bambang
Copyright © ANTARA 2006