Beijing (ANTARA) - Jutaan pekerja urban mulai melakukan perjalanan di seluruh wilayah China pada Rabu menjelang puncak mudik perayaan Hari Raya Imlek, yang diperkirakan akan terjadi pada Jumat (20/1) pekan ini.
Sementara itu, para pemimpin China berharap ekonomi kembali melaju setelah dihantam COVID.
Para pekerja, yang lepas dari belenggu ketika pihak berwenang bulan lalu mengakhiri tiga tahun pembatasan COVID-19 paling ketat di dunia, membanjiri stasiun-stasiun kereta dan bandara menuju kota-kota kecil dan pedesaan.
Gelombang perjalanan itu memicu kekhawatiran bahwa wabah virus tersebut akan meluas.
Kalangan ekonom dan analis mengamati musim liburan, yang dikenal dengan Festival Musim Semi, untuk melihat tanda-tanda peningkatan konsumsi di negara ekonomi kedua terbesar dunia itu.
Sebelumnya pada Selasa (17/1), data Produk Domestik Bruto (PDB) menunjukkan perlambatan ekonomi yang tajam di China.
Perlambatan ekonomi yang berlarut-larut dapat memperburuk tantangan kebijakan yang dihadapi Presiden Xi Jinping. Xi perlu menenangkan generasi muda yang turun ke jalan pada November untuk memprotes kebijakan "nol-COVID".
Sejumlah analis memperkirakan pemulihan di China akan berjalan lambat.
Sementara itu, Wakil Perdana Menteri China Liu He memberikan pernyataan dalam Forum Ekonomi Dunia di Swiss pada Selasa bahwa negaranya membuka diri bagi dunia setelah menjalani isolasi selama tiga tahun akibat pandemi.
Petugas Badan Imigrasi Nasional China mengatakan bahwa setengah juta warga keluar dan masuk wilayah negara itu setiap hari sejak perbatasan dibuka pada 8 Januari, menurut laporan media pemerintah.
Akan tetapi saat para pekerja berangkat dari kota-kota besar, seperti Shanghai --yang menurut pejabat sedang mengalami puncak wabah, banyak di antara mereka yang mudik ke kota-kota kecil dan desa-desa.
Di daerah-daerah seperti itu, orang-orang lanjut usia yang belum divaksin belum pernah terkena COVID. Selain itu, sistem layanan kesehatan di sana termasuk minim.
Suka Cita
Meski lonjakan penularan COVID meningkat, beberapa orang tidak memikirkan risiko itu saat mereka bergegas menuju gerbang keberangkatan.
Orang-orang yang akan berangkat bergerak cepat di stasiun kereta dan kereta bawah tanah di Beijing dan Shanghai, kebanyakan membawa koper beroda besar dan kotak-kotak yang penuh dengan makanan dan hadiah.
"Saya biasanya sedikit khawatir (mengenai epidemi COVID-19)," kata seorang pekerja migran bernama Jiang Zhiguang, saat ia menunggu di antara kerumunan penumpang di Stasiun Kereta Hongqiao Shanghai.
"Sekarang tidak masalah, sekarang tidak apa-apa kalau terinfeksi. Kita hanya akan merasa sakit selama dua hari," kata Jiang, yang berusia 30 tahun, kepada Reuters.
Sebagian masyarakat berangkat ke kampung halaman untuk mengenang para kerabat mereka yang telah tiada.
Bagi sebagian orang-orang seperti itu, rasa kehilangan kerabat bercampur dengan kemarahan atas apa yang mereka sebut sebagai kurangnya persiapan untuk melindungi para lansia yang rentan sebelum pembatasan COVID dinyatakan dicabut pada awal Desember.
Tingkat penularan di kota selatan, Guangzhou -- ibu kota provinsi terpadat di China, saat ini telah melewati 85 persen, menurut keterangan pejabat kesehatan setempat pada Rabu.
Di daerah-daerah yang lebih terpencil --jauh dari wabah perkotaan yang bergerak cepat, petugas medis pemerintah minggu ini mendatangi rumah demi rumah di beberapa desa terpencil untuk memvaksinasi lansia.
Kantor berita resmi China, Xinhua, pada Selasa (17/1) menggambarkan langkah tersebut sebagai "upaya terakhir".
Klinik-klinik di wilayah pedesaan dan kota-kota kecil saat ini dilengkapi dengan alat-alat pengatur oksigen. Kendaraan medis juga disiagakan di wilayah-wilayah berisiko.
Pihak berwenang pada Sabtu (14/1) mengonfirmasi bahwa ada lonjakan angka kematian.
Otoritas mengumumkan ada hampir 60 ribu orang yang terinfeksi COVID-19 meninggal di rumah sakit antara 8 Desember hingga 12 Januari.
Namun, media pemerintah melaporkan bahwa para pejabat kesehatan belum siap memberikan data tambahan seperti yang diinginkan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO).
Secara khusus, badan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) itu menginginkan informasi tentang apa yang disebut kematian berlebih --jumlah semua kematian yang tidak biasa selama krisis, kata WHO dalam pernyataan kepada Reuters pada Selasa.
Global Times, tabloid nasional yang diterbitkan People's Daily, mengutip ahli Tiongkok yang mengatakan bahwa Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit China telah memantau data tersebut, akan tetapi butuh waktu sebelum dapat disiarkan.
Para dokter di rumah sakit pemerintah maupun swasta secara keras tidak disarankan untuk menghubungkan kematian dengan COVID, menurut laporan Reuters pada Selasa.
Sumber : Reuters
Baca juga: Petugas kereta kerja keras lancarkan mudik Imlek di Hefei China
Baca juga: Obat COVID Molnupiravir sudah tersedia di rumah sakit China
Jumlah migran China yang mudik dengan sepeda motor kini menurun
Penerjemah: Yoanita Hastryka Djohan
Editor: Tia Mutiasari
Copyright © ANTARA 2023