Yogyakarta (ANTARA) - Kota Yogyakarta yang menghasilkan 260 ton sampah per hari saat ini tengah bergelut dengan upaya untuk memastikan seluruh warganya mengelola sampah sejak dari sumbernya, dengan tidak lagi membuang sampah anorganik.

Pemerintah kemudian mengeluarkan kebijakan gerakan nol sampah anorganik demi mengurangi laju volume sampah yang dibuang ke Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Piyungan.

Meskipun volume sampah yang dibuang ke TPA Piyungan kini mulai menunjukkan penurunan hingga 17 ton per hari, namun masih ada masalah dalam pengelolaan sampah anorganik yang berpotensi menumpuk di rumah karena tidak bisa dibuang sembarangan.

Namun demikian, kondisi tersebut tidak berlaku bagi Iskandar Hardjodimuljo, seniman pembuat wayang, yang sehari-hari justru membutuhkan sampah-sampah anorganik sebagai bahan baku wayangnya.

Wayang dari bahan bekas, seperti kertas kotak makan atau plastik botol minuman itu, kemudian dikenal sebagai wayang uwuh. Uwuh adalah Bahasa Jawa yang berarti sampah.

“Bahan bakunya dari lingkungan sekitar rumah saja. Kadang kertas kotak makan atau botol plastik,” kata Iskandar yang sudah menggeluti pembuatan wayang sejak 2013 dan belajar secara otodidak, dalam suatu perbincangan.

Menurut dia, orang cenderung tidak akan melirik sampah kertas atau botol plastik yang sudah teronggok kotor dan lusuh di tempat sampah, bahkan cenderung menutup hidung karena bau busuk yang menusuk.

Tetapi, saat sampah kertas dan plastik tersebut sudah disulap dalam bentuk lain, seperti wayang, maka akan menarik minat masyarakat untuk memilikinya.

Apalagi, wayang uwuh hasil karyanya tidak kalah menarik jika dibanding dengan wayang yang terbuat dari kulit atau kayu, dengan harga yang jauh lebih mahal.

Satu wayang uwuh dijual dengan harga Rp25.000 atau Rp50.000, tetapi ada pula yang dijual hingga Rp1 juta, tergantung besar wayang dan tingkat kesulitan serta kerumitan selama proses pembuatannya.

Iskandar pun memastikan, wayang hasil karyanya tetap memenuhi ciri khas dari setiap tokoh wayang yang digambarkan, khususnya pada bagian raut muka yang menjadi simbol utama dari tokoh wayang yang digambarkan.

Sementara untuk warna-warna yang dipilih sudah menjadi ciri khas yang selama ini melekat pada Iskandar dan justru membedakan karyanya dengan karya seniman lain.

Ketertarikannya memanfaatkan bahan sisa atau sampah untuk diolah menjadi wayang berawal dari keinginannya untuk meningkatkan nilai jual sampah, sekaligus mengurangi sampah karena Indonesia masuk dalam daftar negara penghasil sampah terbanyak.

Sampah kemudia bisa ia ubah menjadi emas. Dari limbah yang dibuang begitu saja dan merusak lingkungan bisa diubah menjadi barang yang berguna, memiliki nilai jual, dan tidak lagi mencemari lingkungan.

Jika permasalahan sampah tidak bisa ditangani secepatnya, Iskandar khawatir, anak-anak Indonesia akan tumbuh dikelilingi dengan permasalahan sampah.

Ia pun berharap, seluruh masyarakat dapat mengelola sampahnya dengan baik. Sampah anorganik masih memiliki nilai jual atau dijadikan sebagai bahan baku kerajinan, sedangkan sampah organik bisa diolah menjadi kompos.

Menjaga lingkungan agar tetap hidup dan menghidupi menjadi misi yang ingin ia wujudkan, selain melestarikan seni budaya tradisional wayang yang adiluhung dan sudah diakui dunia.

Oleh karenanya, wayang hasil karyanya tidak hanya dijual atau dibuat untuk memenuhi pesanan konsumen, tetapi ada pula yang disumbangkan ke sekolah sebagai bahan edukasi.

Setiap kali dia menyumbang wayang uwuh ke sekolah, pasti ada senyum bahagia dari anak-anak yang menerima dan memainkannya.

Wayang-wayang tersebut dapat menjadi bagian dari peraga untuk kebutuhan edukasi, memperkenalkan tokoh-tokoh wayang ke anak-anak, sehingga anak-anak tidak hanya mengenal pahlawan super dari luar negeri, tetapi juga dari tokoh wayang.

Pada zaman dulu, tokoh wayang kerap menjadi idola masyarakat, tetapi anak-anak sekarang lebih mengenal tokoh-tokoh dari luar negeri sehingga Iskandar merasa terpanggil untuk bisa mengenalkan wayang dan melestarikannya.

Edukasi untuk mengenalkan wayang juga dilakukan di rumahnya, melalui workshop membuat wayang bersamaan dengan perpustakaan keliling yang datang setiap sebulan sekali. Setiap peserta, sebagian besar anak-anak, diminta membawa limbah kertas atau botol plastik.

Setidaknya, dalam waktu dua jam anak-anak sibuk membuat wayang dan tidak memainkan game di telepon selular.


Pameran di luar negeri

Kiprah Iskandar untuk menyelamatkan lingkungan, sekaligus menjaga tradisi melalui wayang uwuh, mengantarkannya melanglang buana ke berbagai negara untuk memamerkan karyanya.

Karyanya sempat dipamerkan di Bangkok pada 2017, saat ia diundang oleh salah satu lembaga nirlaba untuk pameran tunggal dan workshop selama sekitar dua pekan.

Kegiatan di Bangkok diikuti peserta dari berbagai negara, dari Eropa, Asia, Amerika, dan Kanada.

Wayangnya pun dipamerkan secara tetap di Bangkok Art and Culture Centre di Thailand hingga saat ini. Selain itu, karyanya juga melanglang hingga Prancis dan ada pula yang menjadi koleksi museum etnografi di Belanda.

Beberapa mahasiswa dari sejumlah perguruan tinggi pun tertarik untuk mengupas sepak terjang pria 60 tahun itu saat memberikan peran baru bagi wayangnya menjadi tokoh penyelamat lingkungan, sekaligus melestarikan budaya tradisional.

Salah satunya Ardian, mahasiswa dari Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga, yang tertarik mengangkat pembuatan wayang uwuh sebagai topik untuk skripsi yang sekarang sedang ia tulis.

Di mata Ardian, selain aktivis lingkungan, Iskandar juga sebagai seniman karena selama menjalani profesinya, ia membawa isu lingkungan hidup. Bagaimana menjaga Bumi agar tetap lestari.

Mahasiswa jurusan psikologi itu pun kagum dengan kegigihan dan semangat yang ditunjukkan Iskandar untuk melakoni dua peran sekaligus, sebagai aktivis lingkungan dan juga seniman.

Karya yang dihasilkan tidak sekadar untuk kebutuhan ekonomi semata, tetapi juga untuk menjaga lingkungan dan melestarikan budaya tradisional.

Dari situlah ia banyak belajar, bahwa menjaga lingkungan sangat penting. Sampah harus bisa dikelola dengan baik agar tidak semakin mencemari lingkungan. Tanpa sampah, Bumi akan semakin hijau.


Nol sampah anorganik

Gerakan nol sampah anorganik yang dilakukan di Kota Yogyakarta sejak awal Januari 2023 dilatarbelakangi kondisi TPA Piyungan yang sudah melebihi kapasitas, sehingga dimungkinkan tidak lagi mampu menampung sampah dalam waktu dekat.

Guna menyiasati kondisi tersebut, Pemerintah Kota Yogyakarta mengambil kebijakan untuk mewajibkan seluruh masyarakat melakukan pemilahan sampah sejak dari sumbernya dan tidak lagi diperbolehkan membuang sampah anorganik.

Sampah anorganik yang sudah terpilah bisa diserahkan ke pengepul atau dikelola melalui bank sampah. Di Kota Yogyakarta saat ini sudah ada 575 bank sampah yang terdaftar di dinas lingkungan hidup (DLH) setempat.

Larangan membuang sampah anorganik tersebut diharapkan dapat menurunkan 40 persen volume sampah yang dibuang ke TPA Piyungan setiap hari. Dengan pengurangan volume sampah yang dibuang, maka diharapkan usia teknis TPA pun bisa diperpanjang.

Yogyakarta memberikan waktu tiga bulan, Januari-Maret, bagi warga untuk beradaptasi dengan kebijakan tersebut dan selanjutnya akan dilakukan penegakan aturan berupa pemberian sanksi jika masih ada warga yang tidak memilah sampah dan membuang sampah anorganik.

Meskipun demikian, Kota Yogyakarta tidak hanya bergantung pada TPA Piyungan, tetapi berupaya membuat tempat pembuangan sampah terpadu (TPST) yang di dalamnya juga melakukan kegiatan pemilahan sampah.

TPST didirikan di luar Kota Yogyakarta karena tidak ada lagi lahan tersisa di kota tersebut dan diharapkan sudah bisa dilakukan pada 2024. Pembangunan tersebut untuk menyiasati rencana penutupan TPA Piyungan untuk revitalisasi dan baru beroperasi kembali pada 2027.

“Kami berharap, permasalahan sampah ini bisa tertangani dengan baik. Karena masalah sampah bukan hanya tanggung jawab pemerintah tetapi juga tanggung jawab masyarakat,” kata Sekretaris Daerah Kota Yogyakarta Aman Yuriadijaya.

​​​​​​​

Editor: Masuki M. Astro
Copyright © ANTARA 2023