Nagekeo memang belum ada kasus, tapi kami perketat pengawasan di beberapa titik perbatasan untuk lalu lintas ternak seperti di Nangamboa, wilayah Nangaroro, juga Wolowae, untuk mengantisipasi dari Sikka dan Flores Timur.

Labuan Bajo (ANTARA) - Pemerintah Kabupaten Nagekeo, Nusa Tenggara Timur, memperketat pengawasan lalu lintas ternak di daerah perbatasan untuk mencegah masuknya virus African Swine Fever (ASF) atau demam babi Afrika di wilayah tersebut.

"Nagekeo memang belum ada kasus, tapi kami perketat pengawasan di beberapa titik perbatasan untuk lalu lintas ternak seperti di Nangamboa, wilayah Nangaroro, juga Wolowae, untuk mengantisipasi dari Sikka dan Flores Timur," kata Kepala Dinas Peternakan Kabupaten Nagekeo Klementina Dawo ketika dihubungi dari Labuan Bajo, Kabupaten Manggarai Barat, Selasa.

Dia mengatakan ada kejadian kematian ternak babi akibat ASF pada awal 2023 di Pulau Timor, Kabupaten Flores Timur, dan Kabupaten Sikka. Untuk mengantisipasi masuknya penyakit ternak itu dan menyebabkan kejadian kematian di Nagekeo, Dinas Peternakan setempat melakukan pengetatan lalu lintas ternak dan meminta para camat untuk memberdayakan para petugas Satuan Perlindungan Masyarakat (Linmas) untuk berjaga-jaga di masing-masing wilayah.

Baca juga: Karantina cegah masuk 26 hewan ternak babi tak bersertifikat kesehatan

Apabila ada aktivitas pengiriman ternak babi dari luar Nagekeo, katanya, para petugas harus menahan dan tidak memperbolehkan ternak-ternak tersebut masuk. "Kita perlu antisipasi, terlebih pada hari-hari pasar," ungkap Klementina.

Selain penolakan dan pelarangan terhadap masuknya ternak babi, pemerintah daerah juga menolak masuknya produk babi baik daging segar maupun olahan seperti se'i, dendeng, roti babi, dan hasil ikutan lainnya dari wilayah tertular, serta tidak menjual dan atau membeli ternak babi yang sakit.

Bagi desa atau kelurahan yang akan mengambil ternak babi melalui dana APBDes maupun dana kelurahan wajib mengambil ternak babi lokal di Kabupaten Nagekeo dan melakukan uji PCR bebas ASF terlebih dahulu.

Selain melakukan pengawasan ketat terhadap aktivitas lalu lintas ternak, Klementina mengimbau peternak atau petugas kandang untuk meningkatkan biosecurity berupa kebersihan dan sanitasi kandang.

Dia menyarankan penggunaan disinfektan untuk membersihkan kandang, dan meminta hanya peternak/petugas kandang saja yang boleh masuk ke area kandang.

"Jika ternak babi sakit, harus dipisahkan dari babi yang sehat. Lalu ternak babi yang mati harus segera dilaporkan kepada petugas 1 x 24 jam untuk observasi lebih lanjut," katanya.

Baca juga: Bupati Sleman minta peternak sapi waspadai penyakit LSD

Ternak babi yang mati tersebut, lanjutnya, harus dibakar atau diberi soda api lalu dikubur untuk mencegah penyebaran. Pemerintah daerah melarang keras masyarakat untuk memotong dan mengedarkan daging dari ternak babi yang sakit.

Klementina mengimbau masyarakat untuk mewaspadai penyakit ASF dengan mengetahui tanda klinis ternak yakni demam tinggi, depresi, tidak mau makan, pendarahan pada kulit (kemerahan pada telinga, perut, dan kaki), keguguran pada induk bunting, kebiruan pada kulit, muntah, diare, serta kematian dalam waktu 6-13 hari.

Dia menyebut penyakit ini tidak menular dari hewan ke manusia atau sebaliknya. Namun, peningkatan kewaspadaan sangat perlu dilakukan. "Tingkat kematian ternak babi dapat mencapai 100 persen," ucap Klementina.

Dia berharap para peternak dan penjaga kadang dapat melakukan upaya peningkatan kekebalan ternak babi dengan cara pembelian pakan yang baik dan pemberian vitamin. Mereka juga dilarang untuk memberikan makanan hasil limbah dari olahan babi ke ternak babi. "Dari luar kami perketat pengawasan, dari dalam juga kami tingkatkan kesehatan ternak," kata Klementina.

Pewarta: Fransiska Mariana Nuka
Editor: Nusarina Yuliastuti
Copyright © ANTARA 2023