Mencari pertolongan profesional ‘therapist’ akan membantu
Kenali Gejalanya
Menurut Psikiater Jiemi Ardian, Keseluruhan jenis trauma ini memiliki gejala yang dikategorikan ke dalam dua aspek, yakni ‘hyperarousal’ dan ‘hypoarousal’.
Hyperarousal terjadi ketika tubuh seseorang tiba-tiba menjadi sangat waspada ketika terpicu suatu hal yang menyebabkan trauma. Tubuh pengidap hyperarousal akan bertindak waspada seolah-olah sedang dalam bahaya, diiringi perasaan gelisah, amarah yang di luar kendali bahkan cenderung ingin bertarung atau melarikan diri.
Sedangkan ‘Hypoarousal’ adalah sebaliknya, seperti respon tubuh yang berkurang, kelelahan, mati rasa emosional bahkan depresi. Gejala ini membuat tubuh orang yang memiliki trauma membeku tidak dapat melakukan apa pun.
Orang tanpa trauma atau dalam keadaan pikiran yang tenang atau normal akan cenderung merasa aman, terkendali terhadap pikiran, pilihan dan keputusan dalam segala aspek hidup, namun tidak bagi para pejuang trauma.
Baca juga: KPAI: Relawan berperspektif anak penting untuk pulihkan trauma gempa
“Contoh sederhananya bila seseorang memiliki trauma pernah dikejar macan, lalu dia mengalami serangan panik karena melihat seorang wanita mengenakan celana bermotif hewan tersebut. Jika dilihat dari luar mungkin terlihat sangat berlebihan tapi bila kita melihat lebih detail, ini adalah respon penyelamatan tubuh yang sangat jenius, tubuh langsung mengirimkan sinyal begitu saja untuk kita bereaksi mengamankan diri.” kata Jiemi Ardian.
Namun permasalahanya kita tidak sedang di dalam hutan dan hidup di tempat yang aman dari ancaman itu. Sehingga respon yang cepat ini seringkali mengganggu pejuang trauma dalam keseharianya.
Cara mengatasi gejala trauma
Kabar baiknya, Jiemi mengatakan ada beberapa hal yang dapat dilakukan untuk mengatasi reaksi trauma itu.
“Trauma bukan berarti tidak dapat disembuhkan, gejala akan mereda dalam waktu singkat itu mungkin, namun untuk sembuh butuh fase jangka panjang karena kita butuh memenuhi kebutuhan-kebutuhan yang hilang pada saat trauma yang dulu terjadi termasuk keterampilan yang hilang, misalnya regulasi emosi.” tambah Jiemi.
Hal pertama yang dapat dilakukan adalah melakukan meditasi, ada banyak jenis meditasi yang tersedia di kota-kota tempat anda tinggal, bahkan meditasi juga dapat dilakukan di rumah.
Baca juga: Psikolog: Penyintas perlu dukungan psikologis awal cegah trauma
Kita juga tidak bisa memungkiri kekuatan musik dalam kehidupan. Mendengarkan musik masih menjadi andalan pada berbagai situasi dan kondisi yang kita alami dan menjadi salah satu cara untuk menenangkan diri.
Jiemi mengatakan melakukan aktivitas hobi juga dapat memperluas ‘window of tolerance’ atau jendela toleransi kita. Jendela toleransi menggambarkan keadaan di mana kita dapat berfungsi dan berkembang dalam kehidupan sehari-hari. Ketika kita ada di dalam jendela ini, kita dapat beraktivitas secara efektif dan berhubungan baik dengan diri kita sendiri dan orang lain.
“Mencari pertolongan profesional ‘therapist’ akan membantu menyadari dan mempelajari ulang bagaimana tubuh kita bereaksi dan cara mengatasinya. Pesan untuk para pejuang trauma, jika rasanya sulit tidak apa untuk menemui profesional kesehatan jiwa dan terima kasih sudah bertahan sejauh ini ya,” kata Jiemi.
Meski masih tabu di Indonesia untuk “berobat” ke psikolog atau psikiater, tidak perlu segan untuk meminta pertolongan. Berbagai psikolog mengatakan gangguan mental sama halnya seperti saat fisik kita sedang lelah atau sakit, dan keduanya sama-sama penting.
Bagi anda pejuang trauma tak perlu tergesa-gesa, berjalan lah perlahan maka pilu akan menjadi pelangi indah di kemudian hari.
Baca juga: Cara menanggulangi trauma anak karena KDRT
Baca juga: Tips pulihkan trauma akibat perselingkuhan sebelum mulai hubungan baru
Editor: Suryanto
Copyright © ANTARA 2023