Jakarta (ANTARA News) - Nilai tukar rupiah terhadap dolar AS di pasar spot antarbank Jakarta pada Kamis sore melemah tipis Rp8.730/8.735 (15.45 WIB) dibanding penutupan hari sebelumnya Rp8.725/8.730 per dolar AS atau turun lima poin, karena pelaku masih melepas rupiah. "Merosotnya rupiah terhadap dolar AS relatif kecil, karena spekulasi lepas rupiah masih terjadi, kata Direktur Retail Banking PT Bank Mega, Kostaman Thayib, di Jakarta, Kamis. Ia mengatakan, penurunan rupiah yang relatif kecil itu, karena tertahan oleh aktifnya investor asing bermain di pasar modal. Mereka memburu saham-saham unggulan, sehingga memicu indeks BEJ menguat di atas level 1.500. "Kami optimistis aksi beli saham investor asing di bursa modal menahan kemerosotan rupiah lebih jauh, meski dolar AS terhadap yen dan euro menguat, setelah bank sentral AS (The Fed) menaikkan suku bunganya menjadi lima persen," katanya. Meski demikian, ia mengatakan, pasar masih responsif terhadap rupiah, karena itu pada hari berikut kemunginan besar rupiah bisa menguat. "Kalau tidak ada hambatan lain, rupiah akan bisa menguat, karena tekanan negatif pasar seperti kenaikan suku bunga The Fed biasanya tidak berlangsung lama," katanya. Sementara itu, Persatuan Bank Umum Nasional (Perbanas) menyatakan, kenaikan suku bunga The Fed dari 4,75 persen menjadi 5,0 persen tidak akan menahan bank-bank di Indonesia untuk menurunkan tingkat suku bunga kredit. "Meski The Fed menaikkan suku bunganya, tetapi kalau bunga Sertifikat Bank Indonesia (SBI) menurun, saya lihat ruang untuk penurunan bunga kredit di sini (Indonesia) masih ada. Ini tidak akan menyebabkan bank-bank kita menahan penurunan tingkat bunga," kata Ketua Umum Perbanas, Agus Martowardoyo. Menanggapi bunga BI Rate Agus mengatakan, yakin di masa depan suku bunga itu akan kembali mengalami penurunan dari 12,50 persen yang ditetapkan berlaku mulai 9 Mei 2006. Sebelumnya suku bunga BI Rate sebesar 12,75 persen. Pasar valas saat ini masih didominasi aksi beli dolar AS, karena pelaku lokal memburu mata uang asing itu, apalagi setelah Departemen Keuangan AS tidak menyebutkan Cina sebagai salah satu manipulator mata uang di pasar global. Depkeu AS semula menduga, Cina merupakan salah satu manipulator mata uang, akibatnya dolar AS agak tertekan, tambahnya. (*)

Editor: Priyambodo RH
Copyright © ANTARA 2006