Denpasar, (ANTARA News) - Nelayan di perairan Indonesia secara berlebihan (over-fishing) merusak habitat laut (destructive fishing) yakni menggunakan bom, potasium dan sianida.
"Karena itu pengelolaan kawasan perlindungan laut memerlukan keterlibatan berbagai pihak, salah satunya penegak hukum," kata Direktur Penyidikan dan Perlindungan Hutan, Ir Noor Hidayat mewakili Ditjen PHKA Departemen Kehutanan RI di Sanur, Denpasar, Bali, Rabu (10/5).
Di hadapan peserta lokakarya bertema "Pengelolaan dan Penanganan Hukum di dalam Kawasan Perlindungan Laut (KPL) di Indonesia", Hidayat menyatakan perlunya koordinasi dan kerja sama antar para penegak hukum.
Akibat eksploitasi penangkapan ikan dengan menggunakan bom, potasium dan sianida tersebut, Indonesia mengalami kerugian sebesar 100.000 dolar AS per kilometer persegi. Dan selama kurun waktu 20 tahun akibat kerusakan terumbu karang, Indonesia mengalami kerugian sekitar 8,5 miliar dolar.
Direktur The Nature Conservancy Program Indonesia, Rili Djohani mengatakan, Kawasan Perlindungan Laut (KPL) merupakan metode yang terbukti efektif digunakan untuk melindungi sumberdaya hayati laut, terutama terumbu karang,
"Bukti ini berdasarkan pengalaman banyak negara-negara di dunia yang telah mengembangkan KPL dan pengelolaannya secara efektif," ungkapnya.
Ia mengatakan, Indonesia mengembangkan KPL yang luas totalnya kurang dari satu persen dari seluruh luas terumbu karang yang ada. Saat ini hanya sekitar 510.000 hektar terumbu karang Indonesia yang dilindungi dari total 51 juta hektar yang tersedia.
Lokakarya yang berlangsung dari 10-12 Mei 2006 itu, diikuti 25 peserta dari kalangan penegak hukum terkait dengan perlindungan laut.(*)
Copyright © ANTARA 2006