Jakarta (ANTARA) - Pengamat Pajak Danny Darussalam Tax Center (DDTC) Bawono Kristiaji berpendapat kehadiran pajak penghasilan (PPh) atas natura atau kenikmatan mengedepankan aspek keadilan, sehingga bukan mengutamakan aspek penerimaan.

"Utamanya untuk menjamin adanya beban pajak yang setara bagi pihak yang menerima penghasilan berbentuk tunai dan non-tunai atau keadilan horisontal," ujar Bawono kepada Antara di Jakarta, Rabu.

Selain itu, lanjutnya, penerapan pajak tersebut juga ditujukan untuk mencegah ketimpangan yang timbul dari kelompok pegawai berpenghasilan tinggi yang mendapatkan fasilitas atau natura lebih besar dari pegawai lain atau keadilan vertikal.

Menurut dia, perlu dipahami bahwa sebelum adanya Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP), natura atau kenikmatan bukanlah objek PPh dari sisi pegawai (non-taxable), sedangkan atas biayanya tidak bisa menjadi pengurang penghasilan (non-deductible expense) dari sisi perusahaan.

Melalui UU HPP dan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 55 tahun 2022, skemanya kini berubah menjadi objek PPh (taxable) dari sisi pegawai dan bisa dibiayakan (deductible expense) dari sisi perusahaan. Hal tersebut mencerminkan prinsip simetris dalam pajak yang idealnya diterapkan secara konsisten.

Baca juga: Pemerintah akan kenakan pajak untuk penerima fasilitas dari kantor

Dari sisi pemerintah, kata dia, adanya prinsip simetris tersebut menyiratkan PPh natura bersifat net-off atau tidak ada penerimaan tambahan.

"Pasalnya karena walau menambah pajak yang harus dibayar oleh pegawai, tetapi mengurangi pajak yang harus dibayar oleh perusahaan. Dengan demikian, terdapat redistribusi beban pajak dari perusahaan atau badan ke orang pribadi," jelasnya,

Namun yang perlu diperhatikan, kata dia, adanya disparitas tarif PPh antara wajib pajak badan (tarif datar 22 persen) dengan wajib pajak orang pribadi (progresif dengan tarif tertinggi 35 persen). Selama terdapat selisih tarif, khususnya jika natura atau kenikmatan diterima oleh kelompok penghasilan di atas Rp250 juta, terdapat penambahan penerimaan pajak.

Adapun penghasilan di atas Rp250 juta hingga Rp500 juta dikenakan tarif 25 persen, di atas Rp500 juta hingga Rp5 miliar dikenakan tarif 30 persen, dan di atas Rp5 miliar dikenakan tarif 35 persen.

Baca juga: Pemerintah bakal pungut pajak natura mulai semester II-2023

Nilai penerimaan pajak meningkat seiring kian tingginya tarif PPh orang pribadi yang menerima natura atau kenikmatan tersebut.

Senada, Pengamat Pajak Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) Fajry Akbar menilai pengenaan pajak atas natura ditujukan untuk menghindari celah penghindaran pajak oleh kelompok kaya.

"Selama ini penghindaran tersebut dilakukan melalui pemberian natura," kata Fajar kepada Antara di waktu yang berlainan.

Sedangkan dari sisi penerimaan, ia ragu akan menghasilkan penerimaan pajak yang signifikan. Dahulu CITA pernah mengkalkulasikan jika potensi penerimaan dari rencana implementasi pajak tersebut hanya Rp1,5 triliun. Namun realisasinya akan bergantung pada desain kebijakan natura, terutama penentuan objek dan subjek pada Peraturan Menteri Keuangan (PMK).

Dengan demikian, kata dia, isu pengenaan pajak atas natura dilakukan lebih karena pemerintah ingin mendesain kebijakan perpajakan yang berkeadilan.

Baca juga: Indef nilai penerapan pajak natura akan dongkrak penerimaan pajak

 

Pewarta: Agatha Olivia Victoria
Editor: Risbiani Fardaniah
Copyright © ANTARA 2023