Jakarta (ANTARA News) - Pemerintah mengancam akan memberikan sanksi kepada daerah yang tidak memenuhi ketentuan dalam kaitannya dengan penyusunan dan pemberlakuan peraturan daerah (Perda). "Sanksi akan dikenakan mulai dari penundaan sampai pemotongan dana alokasi umum (DAU) kepada daerah yang bersangkutan," kata Kepala Badan Pengkajian Ekonomi Keuangan dan Kerjasama Internasional (Bapekki) Departemen Keuangan, Anggito Abimanyu di Jakarta, Rabu. Ia mengatakan, ancaman pemberian sanksi kepada daerah yang membandel itu akan diatur UU Nomor 18 tahun 1997 jo UU Nomor 34 tahun 2004 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah yang saat ini sedang diamandemen. Ia menyebutkan, pengawasan pemungutan pajak dan retribusi baru di daerah dilakukan secara preventif yaitu sebelum ditetapkan harus mendapat persetjuan dari Menteri Dalam Negeri untuk Perda Propinsi dan Gubernur untuk Perda Kabupaten/kota, setelah dikoordinasikan dengan Menteri Keuangan. Pengenaan sanksi akan ditujukan kepada daerah yang tidak melaksanakan kewajiban menyampaikan rancangan perda. Sanksi juga akan diberikan kepada daerah yang tetap melaksanakan pungutan pajak daerah dan retribusi daerah padahal perda itu tidak mendapat persetujuan dari pusat/gubernur. Juga kepada daerah yang tetap melaksanakan pungutan pajak dan retribusi daerah meskipun Perdanya telah dibatalkan. "Sanksi akan diatur tersendiri berdasarkan keputusan Menteri Keuangan. Penundaan dan pemotongan itu juga bukan kepada DAU untuk gaji pegawai," katanya. Berdasar data hingga April 2006, terdapat sekitar 13.000 Perda yang mengatur pungutan daerah. Dari jumlah itu, sebanyak 9.693 Perda diterima pusat, sebanyak 3.827 perda belum diterima pusat. Dari 9.693 perda yang diterima pusat, sebanyak 5.794 perda telah diteliti dan sebanyak 666 perda mendapat rekomendasi. Sebanyak 530 perda direkomendasikan untuk dibatalkan, sementara 136 perda direkomendasikan untuk direvisi.Menurut Anggito, tujuan amandemen UU pajak daerah dan retribusi daerah antara lain adalah perluasan basis pajak daerah. "Penentuan jenis pajak daerah dilakukan berdasar kriteria yang umum digunakan dan secara teori dapat dipertanggungjawabkan," katanya. Selain itu penentuan tarif pajak daerah diserahkan sepenuhnya kepada daerah dengan batasan tarif maksimal, sementara untuk pajak kendaraan bermotor, selain tarif maksimal juga ditetapkan tarif minimal untuk mengurangi perbedaan beban pajak yang berlebihan antar daerah. "Beberapa tarif jenis pajak, batasan tarif maksimalnya juga dinaikkan seperti pajak hiburan yang sebelumnya 35 persen. Berdasar RUU ini diubah menjadi 75 persen untuk hiburan mewah dan maksimum 10 persen untuk hiburan rakyat atau tradisional," kata Anggito yang juga Ketua Tim Tarif Pemerintah. Menurut dia, beberapa pajak yang sebelumnya ditarik pusat juga dialihkan kepada daerah seperti catering, golf, dan bowling. Dengan pengalihan ke daerah maka tidak akan dipungut lagi Pajak Pertambahan Nilai (PPN) terhadap obyek pajak itu. "Selain itu juga diberikan pajak baru kepada daerah yaitu pajak lingkungan dan pajak sarang burung walet," kata Anggito.(*)

Editor: Bambang
Copyright © ANTARA 2006