Jakarta (ANTARA News) - Nilai tukar rupiah terhadap dolar AS di pasar spot antar-bank Jakarta, Rabu pagi, menguat 10 poin menjadi Rp8.720/8.725 per dolar AS, dibanding hari sebelumnya Rp8.738/8.740, menyusul aktifnya investor asing menempatkan dananya di pasar modal. "Rupiah yang sempat melemah, setelah BI Rate turun, kembali menguat, karena respon pasar masih tetap tinggi," kata Analis Valas PT Akita Bank, Indra Setiawan di Jakarta, Rabu. Menurut dia, rupiah diperkirakan akan mampu mencapai level Rp8.700 per dolar AS, melihat potensi investor asing cukup besar menempatkan dananya makin besar. Meski BI telah menurunkan bunga BI Rate-nya, namun selisih bunga bank antara rupiah dan dolar AS masih tinggi, sehingga tidak berpengaruh terhadap minat investor asing untuk menempatkan dananya di pasar saham itu, katanya. Indra mengatakan, pelaku pasar aktif membeli rupiah melihat investor asing masih memburu saham-saham unggulan, sehingga indeks BEJ diperkirakan akan kembali menguat yang kini sudah di atas level 1.500. "Kami optimis rupiah akan terus menguat hingga mendekati angka psikologis Rp8.700 per dolar AS, meski dolar AS di pasar global menguat terhadap yen," katanya. Aktivitas pasar, ia lebih lanjut mengatakan, sejak dibuka cukup ramai, karena pelaku membeli rupiah, sehingga mata uang lokal itu menguat, setelah sebelumnya mengalami koreksi harga relatif kecil. Kenaikan rupiah yang cukup tinggi itu, karena pelaku aktif masuk pasar, sehingga selisih harga tertinggi dan terendah berada dalam kisaran melebar dimana harga tertinggi mencapai Rp8.738 per dolar AS dan terendah pada Rp8.712 per dolar AS, katanya. Mengenai dolar AS, ia mengatakan, dolar AS terhadap yen menguat menjadi 111,15 dari sebelumnya 110,88, setelah bank sentral AS (The Fed) menurut rencana akan menaikkan bunga Fedfun menjadi 5 persen dari sebelumnya yang akan diputuskan pada pertemuan hari ini. Namun kenaikan suku bunga itu diperkirakan merupakan yang terakhir, karena The Fed kurang menyukai tingkat suku bunga tinggi, katanya. Pasar global juga sedang menunggu laporan Departemen Keuangan AS, apakah partner dagang utama AS, termasuk China, telah memanipulasi mata uang mereka untuk memperoleh keuntungan. Dalam laporan itu hanya disebutkan Beijing diminta agar mata uangnya, yuan, lebih fleksibel, katanya. (*)

Copyright © ANTARA 2006