WASHINGTON, 18 September 2012 (ANTARA/PRNewswire) -- Pengacara yang bertindak atas nama gerakan pro-demokrasi Kaus Merah di Thailand mengecam kesimpulan laporan baru atas pembunuhan para demonstran pada tahun 2010, dengan mengatakan bahwa hal itu kontraproduktif dan provokatif karena para korban akan menolak untuk menerima sesuatu yang kurang dari yang dipertanggungjawabkan.
"Kita semua yang ada di sana tahu apa yang terjadi, dan laporan ini, yang sebagian besar membebaskan pemain utama dari tanggung jawab apapun, mencemarkan nama korban yang tewas dan cedera," kata Robert Amsterdam, penasihat internasional untuk United National Front for Democracy against Dictatorship (UDD), yang uga dikenal sebagai kelompok Kaus Merah. "Para korban tidak akan menerima laporan ini, dan tidak akan menerima kesetaraan palsu yang laporan ini berupaya berikan antara tentara yang menembak demonstran tak bersenjata dan hak sipil mereka untuk memprotes demokrasi terhadap pemerintah yang ditunjuk melalui kudeta."
Pada tanggal 17 September 2012, Truth for Reconciliation Commission (TRC) menerbitkan laporan akhirnya tentang peristiwa yang terjadi di Bangkok pada bulan April dan Mei 2010, ketika lebih dari 90 orang tewas dalam penumpasan militer terhadap para demonstran Kaus Merah.
Menurut Bapak Amsterdam, ketika pemerintah mantan Perdana Menteri Mark Abhisit Vejjajiva menunjuk TRC, terdapat alasan untuk mempertanyakan independensi komisi ini, mandatnya, dan keanggotaannya. Ketua TRC, Khanit na Nakhon, telah dipilih oleh junta militer yang tak terpilih tiga tahun sebelumnya untuk mengusut "Perang terhadap Narkoba," dan telah mengatakan bahwa ia tidak peduli dengan akuntabilitas melainkan hanya ingin fokus pada pengampunan.
Menurut Bapak Amsterdam, laporan TRC tidak bisa dianggap serius mengingat bahwa ia tidak dapat mengatasi sifat melawan hukum kudeta militer yang menumbangkan pemerintahan yang terpilih secara demokratis Perdana Menteri Thaksin Shinawatra pada tahun 2006, yang merupakan keluhan utama gerakan protes pro-demokrasi Thailand. Sebaliknya, kata Bapak Amsterdam, TRC menyalahkan Thaksin atas kudeta tersebut, seperti Wakil Perdana Menteri Suthep Thaugsuban telah menyalahkan pengunjuk rasa karena "berlari menyongsong peluru."
"Presentasi temuan dalam laporan TRC tentang pembunuhan pengunjuk rasa Kaus Merah pada tahun 2010 tidak dapat mengatasi pelanggaran undang-undang hak asasi manusia yang jelas dan dikutuk di seluruh dunia sehingga mengakibatkan beberapa bagian kota Bangkok berubah menjadi zona peluru tajam," ujar Bapak Amsterdam. "Kelompok Kaus Merah menolak kesimpulan laporan yang bias ini sebagai upaya lain untuk menutupi kejahatan terhadap kemanusiaan yang dilakukan oleh sekelompok kecil elit Thailand. Kami akan terus memperjuangkan akuntabilitas sehingga rakyat Thailand tidak lagi menjadi korban kekerasan pihak militer tanpa konsekuensi."
Thailand telah mengalami siklus kekerasan terus-menerus dengan pembunuhan warga oleh pihak militer pada tahun 1973, 1976, 1992, 2009, dan 2010. Menurut Bapak Amsterdam, kesimpulan laporan ini hanya memastikan bahwa hal tersebut terjadi lagi.
Pada akhir bulan Juni, Robert Amsterdam berpartisipasi dalam delegasi para korban, saksi, dan pejabat pemerintah yang dipimpin oleh sejarawan Thailand Dr. Thongchai Winichakul ke pertemuan di International Criminal Court (ICC) di Den Haag untuk membicarakan permohonan mereka untuk melakukan pengusutan.
"Meskipun ada beberapa bagian dari laporan ini yang berisi rekomendasi yang terpuji, bagian yang membahas kekerasan pada bulan April-Mei 2010 telah gagal total," kata Dr. Winichakul dari University of Wisconsin. "Komisi ini dipandu oleh bias dan ideologi mereka sendiri karena beberapa anggota terkemuka TRC merupakan pendukung kudeta pada tahun 2006. Setiap organisasi hak asasi manusia yang serius harus berhati-hati sebelum mendukung laporan ini."
Informasi lebih lanjut dapat ditemukan di http://www.robertamsterdam.com/thailand.
Editor: PR Wire
Copyright © ANTARA 2012