“KBPP adalah pelayanan KB yang diberikan setelah persalinan sampai dengan kurun waktu 42 hari, dengan tujuan mengatur jarak kelahiran, jarak kehamilan, dan menghindari kehamilan yang tidak diinginkan, sehingga setiap keluarga dapat merencanakan kehamilan yang aman dan sehat,” kata Kepala BKKBN Hasto Wardoyo dalam keterangannya di Jakarta, Jumat.
Hasto membeberkan berdasarkan data hasil New SIGA, capaian KBPP di Indonesia saat ini masih sangat rendah, yakni 15,8 persen, sehingga masih ada 85 persen ibu bersalin belum menggunakan KBPP.
Baca juga: BKKBN: Banyak negara tertarik belajar program KB Indonesia
Tidak hanya untuk mencegah kelahiran bayi dengan risiko stunting, KBPP juga berkontribusi menekan Angka Kematian Ibu (AKI) dan Angka Kematian Bayi (AKB) di Indonesia yang masih tinggi.
Hasto mengimbau pada para pengelola program KB dan fasilitas kesehatan di lapangan, untuk lebih gencar memberikan promosi, konseling dan edukasi pada Pasangan Usia Subur (PUS), karena capaian KBPP yang masih rendah.
Capaian rendah tersebut, diharapkan dijadikan atensi bersama, karena tenaga kesehatan dan promotor mempunyai peran besar untuk meningkatkan motivasi PUS mengikuti program KB.
“Diperlukan upaya untuk peningkatan promosi dan konseling KBPP secara komprehensif, untuk memperkuat peran dan dukungan dari pengelola program KB dan Faskes dalam meningkatkan cakupan pelayanan KBPP,” katanya.
Deputi Bidang KB dan Kesehatan Reproduksi BKKBN, Eni Gustina menambahkan dalam hasil Pendataan Keluarga tahun 2021 (PK-21), ada sejumlah alasan utama tidak ber-KB para pasangan usia subur (PUS) yang bukan peserta KB.
Baca juga: BKKBN ajak dunia bahas program KB dalam ICFP 2022 Thailand
Baca juga: BKKBN Kepri berikan layanan KB gratis pada masyarakat tidak mampu
Beberapa di antaranya adalah ingin hamil atau punya anak, berkaitan dengan alasan kesehatan, adanya akibat dari efek samping obat, mengalami infertilitas atau masa menopause serta penolakan, baik dari pihak pasangan atau keluarga.
Alasan lainnya, yakni pasangan tinggal di tempat yang jauh atau jarang berhubungan, belum menemukan alat atau obat atau cara ber-KB yang sesuai, minimnya edukasi tentang KB, adanya keyakinan terkait agama, biaya yang mahal, jauhnya tempat pemberian layanan, tidak tersedianya alat, obat atau cara ber-KB, dan tidak adanya petugas yang memberikan layanan KB.
Pewarta: Hreeloita Dharma Shanti
Editor: Endang Sukarelawati
Copyright © ANTARA 2023