Beijing (ANTARA) - Presiden Filipina Ferdinand Marcos Jr. pada Selasa (3/1) memulai kunjungan tiga hari ke China dan pemimpin kedua negara diperkirakan membicarakan masalah Laut China Selatan saat Filipina dan China menetapkan arah baru pada hubungan mereka.
Manila memiliki klaim teritorial yang tumpang tindih dengan Beijing di Laut China Selatan.
Lawatan itu menandai kunjungan kenegaraan pertama Marcos di luar Asia Tenggara sejak dia menjabat sebagai Presiden Filipina pada Juni 2022.
Pendahulu Marcos, Rodrigo Duterte, dikenal karena sikapnya yang menenangkan Beijing.
Duterte mengambil sikap akomodatif terhadap penerobosan China di perairan yang diklaim oleh Manila --dengan imbalan investasi yang dijanjikan dari negara ekonomi utama Asia itu.
Dalam pidatonya sebelum meninggalkan Manila, Marcos mengatakan dia menantikan pertemuan dengan Presiden China Xi Jinping "saat kita berupaya mengubah lintasan hubungan ke tingkat yang lebih tinggi".
Hubungan seperti itu diharapkan Filipina akan membawa banyak prospek dan peluang berlimpah untuk perdamaian dan pembangunan bagi kedua negara.
Presiden Filipina itu juga menyatakan keinginannya untuk membahas "masalah keamanan politik yang bersifat bilateral dan regional" dengan Xi.
"Kami akan berusaha menyelesaikan masalah-masalah itu untuk dapat saling menguntungkan kedua negara," katanya, menambahkan.
Marcos juga tampaknya akan melanjutkan diskusi dengan Xi tentang kemungkinan eksplorasi minyak dan gas bersama di Laut China Selatan, menurut seorang pejabat senior Kementerian Luar Negeri Filipina.
Marcos dan Xi mengadakan pembicaraan tingkat tinggi pertama mereka di Bangkok, Thailand, pada November 2022.
Asisten Menteri Luar Negeri Filipina untuk Urusan Asia dan Publik Neal Imperial pada Kamis (29/12) lalu mengatakan bahwa Marcos menginginkan situasi "damai dan stabil" di Laut China Selatan dan akan "terus menegakkan kedaulatan Filipina."
Dia mengatakan kedua negara diharapkan menandatangani kesepakatan untuk membangun jalur "komunikasi langsung" untuk menghindari "salah perhitungan" di Laut China Selatan.
Menurut Imperial, satu delegasi bisnis Filipina turut dalam perjalanan ke China dengan Marcos dan lebih dari 10 perjanjian bilateral diharapkan akan ditandatangani mengenai kerja sama di berbagai bidang, termasuk perdagangan dan investasi, serta infrastruktur.
Kedua negara juga berencana memperbarui kesepakatan tentang partisipasi Manila dalam Infrastruktur Sabuk dan Jalan yang diprakarsai China, kata Imperial.
Juru bicara Kementerian Luar Negeri China Wang Wenbin mengatakan pada Jumat (30/12) lalu bahwa kedua negara adalah "tetangga dekat yang saling berhadapan di seberang lautan".
Wang juga menyatakan kesediaan Beijing untuk "meningkatkan dan mempercepat pertumbuhan hubungan bilateral serta mengantarkan 'zaman keemasan' baru dalam persahabatan bilateral (China-Filipina)."
China, Filipina, Taiwan, Malaysia, Vietnam, dan Brunei memiliki klaim yang tumpang tindih di Laut China Selatan, yakni wilayah yang kaya akan mineral dan berfungsi sebagai jalur perdagangan penting.
Pada 2016, Pengadilan Arbitrase Permanen di Den Haag membatalkan klaim China di Laut China Selatan, tetapi Beijing menolak keputusan itu dan melanjutkan pembangunan militernya di wilayah tersebut.
Pada Desember 2022, Manila mengatakan "sangat prihatin" tentang laporan reklamasi baru China di pulau-pulau tak berpenghuni di Laut China Selatan.
Manila mengatakan tindakan itu bertentangan dengan prinsip pengendalian diri, seperti yang diamanatkan dalam perjanjian 2012 antara China dan Perhimpunan Bangsa-Bangsa Asia Tenggara (ASEAN) yang termasuk Filipina.
Sumber: Kyodo-OANA
Baca juga: Xi Jinping: China pandang Filipina dari perspektif strategis
Baca juga: Filipina akan kembali sampaikan protes kepada China soal LCS
Presiden tekankan penghormatan atas hukum Internasional di Laut China Selatan
Penerjemah: Yuni Arisandy Sinaga
Editor: Tia Mutiasari
Copyright © ANTARA 2023