Jakarta (ANTARA) - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menduga tersangka AKBP Bambang Kayun (BK) menerima suap dan gratifikasi dengan nilai total Rp56 miliar dan satu unit mobil mewah.
BK merupakan tersangka kasus dugaan suap dan gratifikasi terkait pemalsuan surat dalam perkara perebutan hak ahli waris PT Aria Citra Mulia (ACM).
"Bermula dari adanya pelaporan ke Bareskrim Mabes Polri terkait dugaan pemalsuan surat dalam perebutan hak ahli waris PT ACM dengan pihak terlapor ES (Emilya Said) dan HW (Herwansyah)," kata Ketua KPK Firli Bahuri saat membacakan Konstruksi Perkara BK dalam jumpa pers di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta, Selasa.
Atas pelaporan tersebut, lanjut dia, ES dan HW melalui rekomendasi salah seorang kerabatnya kemudian diperkenalkan dengan BK yang saat itu dimutasi sebagai Kepala Subbagian Penerapan Pidana dan HAM Bagian Penerapan Hukum Biro Bantuan Hukum Divisi Hukum Mabes Polri untuk berkonsultasi.
"Sebagai tindak lanjutnya, sekitar Mei 2016 bertempat di salah satu hotel di Jakarta dilakukan pertemuan antara ES dan HW dengan tersangka BK," kata Firli.
Dari kasus yang disampaikan ES dan HW itu, BK diduga menyatakan siap membantu dengan adanya kesepakatan pemberian sejumlah uang dan barang.
"Tersangka BK lalu memberikan saran, di antaranya untuk mengajukan surat permohonan perlindungan hukum dan keadilan terkait adanya penyimpangan penanganan perkara yang ditujukan kepada Kepala Divisi Hukum Mabes Polri," ungkap Firli.
Menindaklanjuti permohonan tersebut, BK lalu ditunjuk sebagai salah satu personel untuk memverifikasi, termasuk meminta klarifikasi kepada Bareskrim Polri.
Baca juga: KPK menahan AKBP Bambang Kayun
"Sekitar Oktober 2016, dilakukan rapat pembahasan terkait perlindungan hukum atas nama ES dan HW di lingkup Divisi Hukum Mabes Polri dan tersangka BK kemudian ditugaskan untuk menyusun kesimpulan hasil rapat yang pada pokoknya menyatakan adanya penyimpangan penerapan hukum termasuk kesalahan dalam proses penyidikan," ungkap Firli.
Dalam perjalanan kasus itu, ES dan HW kemudian ditetapkan sebagai tersangka oleh Bareskrim Polri. Terkait penetapan status tersangka tersebut atas saran lanjutan dari BK maka ES dan HW mengajukan praperadilan ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.
"Dengan saran tersebut, tersangka BK menerima uang sekitar Rp5 miliar dari ES dan HW dengan teknis pemberiannya melalui transfer bank menggunakan rekening orang kepercayaannya," ucap dia.
Selama proses pengajuan praperadilan, KPK menduga BK membocorkan isi hasil rapat Divisi Hukum untuk dijadikan bahan materi isi gugatan praperadilan sehingga hakim dalam putusannya menyatakan mengabulkan dan status penetapan tersangka tidak sah.
Baca juga: KPK periksa AKBP Bambang Kayun
"Tersangka BK sekitar bulan Desember 2016 diduga menerima satu unit mobil mewah yang model dan jenisnya ditentukan sendiri oleh tersangka BK," kata Firli.
Sekitar April 2021, KPK menyebut ES dan HW kembali ditetapkan sebagai tersangka oleh Bareskrim Mabes Polri dalam perkara yang sama.
"Diduga tersangka BK kembali menerima uang hingga berjumlah Rp1 miliar dari ES dan HW untuk membantu pengurusan perkara dimaksud sehingga keduanya tidak kooperatif selama proses penyidikan hingga akhirnya ES dan HW melarikan diri dan masuk dalam DPO penyidik Bareskrim Mabes Polri," tuturnya.
Selain itu, KPK menduga BK menerima uang secara bertahap yang diduga sebagai gratifikasi dan berhubungan dengan jabatannya dari beberapa pihak yang jumlah seluruhnya sekitar Rp50 miliar.
Dengan demikian, total uang yang diterima BK senilai Rp56 miliar.
"Tim penyidik KPK terus mengembangkan lebih lanjut informasi dan data terkait dengan perkara ini," ujar Firli.
Pewarta: Benardy Ferdiansyah
Editor: Herry Soebanto
Copyright © ANTARA 2023