Jakarta (ANTARA News) - Indonesia lima kali lebih boros energi, khususnya bahan bakar minyak (BBM), dibanding Jepang dan perlu mencontoh negeri termaju di Asia tersebut untuk melakukan penghematan energi seoptimal mungkin. "Untuk GDP (gross domestic product) satu juta dolar AS saja kita butuh energi 470 ton oil equivalent (toe)," kata Deputi Kepala Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) bidang Teknologi Informasi, Energi dan Material, Marzan Aziz Iskandar di Serpong, Banten, Senin. Bandingkan dengan Jepang yang untuk setiap 1 juta dolar AS GDP-nya hanya membutuhkan 92,3 toe, hanya seperlima dari yang dibutuhkan Indonesia, ujarnya. Bahkan jika dibandingkan negara-negara tetangga pun Indonesia masih juga tergolong boros, Malaysia, ujarnya, hanya membutuhkan 315 toe untuk 1 juta dolar AS GDP-nya dan Thailand 385 toe. Sementara itu, Kepala Balai Besar Teknologi Energi BPPT, MAM Taufik, mengatakan Indonesia sudah terlalu terlena dengan booming minyak di tahun 1980an, padahal sekarang kondisi sudah berubah, antara lain, stok BBM yang menipis dan harga BBM impor yang mahal. Menurut dia, menghemat energi tidak berarti mengurangi penggunaan energi, tetapi hanya menggunakan secukupnya energi sesuai keperluan. "Ketika pembangkit listrik Paiton ada masalah dan semua pihak diminta berhemat untuk mengurangi resiko padam, buktinya bisa ada penghematan Rp5 miliar per hari tanpa ada kekacauan," katanya. Penghematan, ujarnya, bisa dilakukan dari hal-hal kecil seperti mematikan lampu di siang hari atau lebih memilih naik bus dibanding naik mobil pribadi. Ia juga mengatakan, salah satu cara pemerintah melakukan penghematan, yakni dengan mengurangi penggunaan BBM secara nasional dari yang pada 2005 mencapai 55 persen, pada 2025 dikurangi menjadi tinggal 20 persen dengan Perpres no 5/2006. Sementara energi alternatif terbarukan dari yang pada 2005 hanya memiliki porsi sangat kecil ditargetkan pada 2025 mencapai sekitar lima persen, ujarnya. Namun ia menyesalkan, adanya subsidi bagi penggunaan BBM membuat pengembangan energi alternatif, seperti biofuel, panas bumi atau energi surya kurang dapat bersaing di pasar.(*)

Editor: Heru Purwanto
Copyright © ANTARA 2006