Tahun ini merupakan tahun yang luar biasa bagi pasar komoditas dengan risiko pasokan yang menyebabkan peningkatan volatilitas dan kenaikan harga.
Singapura (ANTARA) - Harga minyak naik tipis pada awal perdagangan Asia pada Jumat pagi, dan berada di jalur untuk membukukan kenaikan tahunan kedua berturut-turut meskipun sedikit, dalam satu tahun yang ditandai oleh ketatnya pasokan akibat konflik Ukraina, dolar yang kuat, serta lemahnya permintaan dari importir minyak mentah utama dunia, China.
Minyak mentah berjangka Brent terangkat 44 sen atau 0,5 persen, menjadi diperdagangkan di 83,90 dolar AS per barel pada pukul 01.38 GMT setelah merosot 1,2 persen di sesi sebelumnya.
Minyak mentah West Texas Intermediate (WTI) AS menguat 48 sen atau 0,6 persen, menjadi diperdagangkan pada 78,88 dolar AS per barel, setelah ditutup 0,7 persen lebih rendah pada Kamis (29/12/2022).
Baca juga: Minyak turun di Asia, lonjakan COVID China redam prospek permintaan
Brent ditetapkan untuk menutup 2022 dengan kenaikan 5,76 persen setelah melonjak 50,2 persen pada 2021. Harga melonjak pada kuartal kedua ke puncak 139,13 dolar AS per barel, level yang tidak terlihat sejak 2008, setelah Rusia menginvasi Ukraina dan memicu masalah pasokan dan keamanan energi.
WTI berada di jalur untuk kenaikan 4,5 persen pada tahun 2022, setelah mencatat lonjakan 55 persen tahun lalu.
"Tahun ini merupakan tahun yang luar biasa bagi pasar komoditas dengan risiko pasokan yang menyebabkan peningkatan volatilitas dan kenaikan harga," kata analis ING, Ewa Manthey.
"Tahun depan akan menjadi tahun ketidakpastian lagi, dengan banyak volatilitas."
Harga minyak mendingin dengan cepat pada paruh kedua tahun ini karena bank-bank sentral di seluruh dunia menaikkan suku bunga untuk melawan inflasi dan mendorong dolar AS. Itu membuat komoditas berdenominasi dolar menjadi investasi yang lebih mahal bagi pemegang mata uang lainnya.
Baca juga: Harga minyak turun, pasar khawatir lonjakan COVID dan permintaan China
Selain itu, pembatasan nol-COVID di China, yang baru dilonggarkan pada Desember, menghancurkan harapan pemulihan permintaan minyak di konsumen nomor dua dunia itu. Sementara China akan pulih pada 2023, lonjakan kasus COVID di negara tersebut dan kekhawatiran resesi global mengaburkan prospek permintaan komoditas.
"Pelonggaran pembatasan perjalanan baru-baru ini diperkirakan akan meningkatkan permintaan minyak; namun, peningkatan tajam kasus COVID di China telah menimbulkan kekhawatiran serius atas potensi wabah global," kata John Driscoll, direktur konsultan JTD Energy Services.
Ke depan pada pasokan, sanksi barat akan mendorong Rusia untuk mengalihkan lebih banyak ekspor produk mentah dan olahan dari Eropa ke Asia.
Di Amerika Serikat, pertumbuhan produksi di negara-negara bagian penghasil minyak teratas melambat meskipun harga lebih tinggi. Inflasi, hambatan rantai pasokan, dan ketidakpastian ekonomi telah menyebabkan para eksekutif menurunkan ekspektasi mereka, menurut survei terbaru oleh Federal Reserve Dallas.
Penerjemah: Apep Suhendar
Editor: Nusarina Yuliastuti
Copyright © ANTARA 2022