Singapura (ANTARA) - Pasar ekuitas Asia sedikit melemah pada perdagangan Kamis, karena melonjaknya kasus COVID di China meresahkan investor dan menimbulkan keraguan atas peluang pemulihan yang cepat untuk ekonomi terbesar kedua di dunia itu setelah relaksasi pembatasan COVID yang ketat.
Indeks MSCI untuk saham Asia-Pasifik di luar Jepang turun 0,78 persen, dan berada di jalur untuk mengakhiri bulan terakhir tahun ini di posisi merah, menutup tahun 2022 yang brutal.
Pasar berjangka menunjukkan suasana suram kemungkinan akan berlanjut di Eropa, dengan Eurostoxx 50 berjangka turun 0,24 persen, DAX berjangka Jerman melemah 0,30 persen dan FTSE berjangka Inggris merosot 0,36 persen.
Sistem kesehatan China mengalami tekanan berat sejak Beijing mulai membongkar rezim nol-COVID pada awal bulan.
Pada Senin (26/12/2022), China mengumumkan akan mengakhiri persyaratan karantina untuk pelancong yang datang mulai 8 Januari, sementara beberapa negara, termasuk Amerika Serikat dan Jepang, telah mewajibkan tes COVID untuk pelancong dari China.
Sekitar setengah dari penumpang dalam dua penerbangan dari China ke bandara utama Milan, Malpensa, dinyatakan positif COVID pada Rabu (28/12/2022).
Analis Nomura mengatakan dalam sebuah catatan bahwa mungkin ada gelombang infeksi yang signifikan di seluruh China, menyebar dari daerah perkotaan ke pedesaan, selama perjalanan nasional yang terburu-buru untuk Tahun Baru Imlek yang jatuh pada 22 Januari.
"China mungkin menemukan dirinya dalam situasi yang sulit karena penundaannya dalam merangkul pendekatan 'hidup bersama COVID'," kata analis Nomura, mencatat bahwa kebijakan nol-COVID sebelumnya dapat melindungi orang secara berlebihan, meningkatkan risiko lonjakan infeksi setelah kontrol dihapus.
Indeks saham unggulan China CSI 300 berakhir turun 0,38 persen, sementara indeks Hang Seng Hong Kong ditutup tergelincir 0,92 persen. Indeks Nikkei Jepang berakhir menyusut 0,94 persen ke level terendah hampir tiga bulan, sementara indeks S&P/ASX 200 Australia kehilangan 0,94 persen.
Kekhawatiran bahwa upaya bank-bank sentral untuk menjinakkan inflasi dapat menyebabkan perlambatan ekonomi dan ketidakpastian tentang bagaimana perekonomian China akan berjalan setelah penghapusan kontrol COVID telah membuat pasar tetap lemah.
Indeks Keyakinan Investor State Street, yang menganalisis pola beli dan jual investor institusional, turun menjadi 75,9 pada Desember, terendah sejak pandemi dimulai tiga tahun lalu.
Marvin Loh, ahli strategi makro senior di State Street Global Markets, mengatakan selera risiko investor terus melemah bulan ini, dengan penurunan paling nyata di Amerika Utara karena meningkatnya kekhawatiran resesi.
Perhatian investor juga terfokus pada angka klaim pengangguran AS mingguan yang akan dirilis pada Kamis.
Pasar sekarang menilai peluang 69 persen untuk kenaikan suku bunga 25 basis poin ketika Federal Reserve AS mengadakan tinjauan kebijakan pada Februari, dan mereka sekarang memperkirakan suku bunga AS memuncak di 4,94 persen pada paruh pertama tahun depan.
The Fed menaikkan suku bunga sebesar 50 basis poin pada awal Desember setelah memberikan empat kali kenaikan 75 basis poin berturut-turut di tahun ini, tetapi mengatakan mungkin perlu mempertahankan suku bunga yang lebih tinggi lebih lama.
Ahli strategi PineBridge Investments mengatakan efek lambat dari pengetatan bank sentral yang agresif telah membuat sebagian besar mengantisipasi resesi yang melemah pada paruh kedua tahun 2023.
"Kami tidak dapat mengesampingkan kemungkinan bahwa lonjakan keuntungan perusahaan yang didorong oleh inflasi berkurang lebih cepat, mendorong pemutusan hubungan kerja dan resesi," mereka memperingatkan.
Imbal hasil obligasi pemerintah AS 10-tahun turun 2,2 basis poin menjadi 3,864 persen, tidak jauh dari tertinggi enam minggu di 3,89 persen.
Imbal hasil pada obligasi pemerintah AS 30-tahun turun 2,2 basis poin menjadi 3,955 persen, sedangkan imbal hasil obligasi AS dua tahun, yang biasanya bergerak sejalan dengan ekspektasi suku bunga, naik 0,9 basis poin menjadi 4,368 persen.
Minyak mentah berjangka AS turun 0,24 persen menjadi diperdagangkan di 78,77 dolar AS per barel, dan Brent turun 0,14 persen menjadi diperdagangkan di 83,14 dolar AS per barel.
Di pasar mata uang, yen Jepang menguat 0,62 persen versus greenback di 133,65 per dolar, sementara sterling diperdagangkan terakhir di 1,2037 dolar, naik 0,20 persen.
Indeks dolar, yang mengukur greenback terhadap enam mata uang utama lainnya, menyusut 0,038 persen, dengan euro naik 0,14 persen menjadi 1,0623 dolar.
Baca juga: Saham Asia menguat tipis, investor resah atas pembukaan kembali China
Baca juga: Saham Asia jatuh, investor mengukur kebijakan pembukaan kembali China
Penerjemah: Apep Suhendar
Editor: Budi Suyanto
Copyright © ANTARA 2022