Jakarta (ANTARA) - Ketua Umum Organisasi Anti-Doping Indonesia (IADO) Gatot S. Dewa Broto menyatakan pemerintah Indonesia dan IADO menghadapi tantangan berat dalam memiliki laboratorium anti-doping sendiri.

Pemerintah dan IADO, kata Gatot, belum berencana mendirikan laboratorium anti-doping sendiri dalam waktu dekat karena persyaratan yang sangat ketat yang ditetapkan badan anti-doping dunia (WADA).

Salah satu syarat untuk mendirikan sebuah laboratorium anti-doping sebagaimana diatur International Standard for Laboratories Pasal 4.1.3 adalah negara harus menunjukkan komitmen menyediakan laboratorium dengan minimal 3.000 sampel per tahun pada akhir tahun kalender kedua setelah memperoleh akreditasi WADA.

"IADO perlu menyampaikan penjelasan mengapa pemerintah Indonesia dan IADO belum tergerak atau belum berencana mendirikan laboratorium anti-doping sendiri. Tentu keinginan pasti ada. Tetapi atas dasar persyaratan yang sangat ketat yang diatur dalam International Standard for Laboratories, maka rencana tersebut belum menjadi prioritas dalam waktu dekat ini," kata Gatot dalam siaran pers IADO pada Rabu.

Apabila merujuk syarat yang ditetapkan WADA, IADO masih belum sanggup mencapai jumlah sampel tersebut.

Baca juga: Tahun 2022 jadi awal kebangkitan olahraga Indonesia bebas dari doping

Sebagai perbandingan, IADO pada 2022 hanya mampu mengumpulkan 548 sampel. Itu berarti masih ada kekurangan 2.452 sampel yang belum tentu bisa diperoleh dari negara-negara sekitar Indonesia karena sudah ada beberapa laboratorium anti-doping di Bangkok, Sydney, Tokyo, Seoul dan Doha.

Dengan demikian, Gatot memastikan Indonesia untuk saat ini masih akan mengandalkan laboratorium anti-doping di negara-negara tetangga.

Indonesia pada akhir 2020 sempat berencana membangun laboratorium anti-doping di kompleks Rumah Sakit Ortopedi Prof Dr R. Soeharso Surakarta, Jawa Tengah. Itu dilakukan agar Indonesia tak perlu lagi mengirim sampel ke luar negeri dengan biaya mahal ketika akan mengikuti kejuaraan olahraga.

Rencana tersebut bahkan didukung penuh oleh Kementerian Kesehatan dengan menyediakan lahan strategis seluas 700 meter persegi di lingkungan RS Ortopedi.

Namun Gatot mengatakan pembangunan laboratorium anti-doping harus dipikirkan matang-matang karena membutuhkan kajian yang menyeluruh dan konsultasi secara intensif dengan WADA.

"Pengalaman sanksi dari WADA yang pernah dijatuhkan terhadap laboratorium di Ankara dan Penang pada Maret 2009 memberi pelajaran yang sangat berharga bahwa untuk membangun laboratorium anti-doping membutuhkan kajian yang sangat komprehensif dan konsultasi kepada WADA secara intensif," tutup Gatot.

Baca juga: Tokoh muda Muslim Jepang: Dakwah terpenting lewat perilaku

Pewarta: Shofi Ayudiana
Editor: Jafar M Sidik
Copyright © ANTARA 2022