Jakarta (ANTARA News) - Kredit bermasalah (non performing loan) industri perbankan pada kuartal pertama 2006 mencapai 9,7 persen atau naik dibanding akhir kuartal empat 2005 sebesar 8,3 persen. "Secara industri, NPL gross sebesar 9,7 persen," kata Deputi Gubernur BI, Siti Ch Fadjrijah, usai membuka seminar "Urgensi penyelesaian NPL di Bank BUMN" di Jakarta, Senin. Ia mengatakan kenaikan ini disebabkan secara individual bank, ada NPL yang naik terutama karena dampak kenaikan harga BBM Oktober 2005. "Kenaikan harga BBM menyebabkan kredit konsumer seperti untuk motor, banyak yang macet, sehingga terjadi kenaikan NPL. Sementara itu penyaluran kredit pada kuartal pertama sangat lambat pertumbuhannya," katanya. Namun, menurutnya dana pihak ketiga (DPK) perbankan naik cukup banyak dan keuntungan juga meningkat, akibat banyaknya dana perbankan yang disimpan di Sertifikat Bank Indonesia (SBI) dan Surat Utang Negara (SUN). Ditanya apakah naiknya NPL sudah mengkhawatirkan, Siti mengemukakan jika aturan main mengenai penyelesaian NPL perbankan diselesaikan, maka jumlahnya akan turun. Saat ini, sebagian besar NPL berasal dari bank BUMN dan sulit diturunkan karena adanya aturan Pemerintah yang menyebabkan bank BUMN tidak bisa merestrukturisasi NPL-nya sebab bisa dianggap merugikan negara. NPL perbankan sejak tahun 1998 sudah menurun dari 48,6 persen, menjadi 32,8 persen pada tahun 1999, 18,8 persen pada tahun 2000, 12,1 persen pada tahun 2001, 8,1 persen pada tahun 2002, 8,2 persen pada tahun 2003, dan 5,8 persen pada tahun 2004. Sebelumnya, pemerintah berencana merevisi sejumlah peraturan yang dirasa menghambat upaya bank-bank BUMN dalam merestrukturisasi kredit bermasalahnya, seperti peraturan pemerintah no.14/2005 tentang tata cara penghapusan piutang negara. (*)
Copyright © ANTARA 2006