tripeldemik yang cukup banyak dibahas adalah suatu keadaan pada waktu yang sama ada peningkatan kasus dari tiga penyakit yang menyerang paru dan saluran napasketerangannya di Jakarta, Senin.

Jakarta (ANTARA) - Direktur Pasca Sarjana Universitas YARSI Prof Tjandra Yoga Aditama menyatakan jika peningkatan kasus tripeldemik dapat berpotensi meningkatkan jumlah pasien karena terinfeksi dan membuat rumah sakit dan IGD menjadi penuh.

“Di negara-negara yang kini dalam musim dingin maka mereka sedang menghadapi masalah kesehatan akibat tripeldemik yang cukup banyak dibahas. Ini adalah suatu keadaan pada waktu yang sama ada peningkatan kasus dari tiga penyakit yang menyerang paru dan saluran napas,” kata Tjandra dalam keterangannya di Jakarta, Senin.

Tjandra menuturkan bahwa sebenarnya tidak ada definisi ilmiah khusus tentang istilah tripeldemik. Situasi tersebut merupakan suatu keadaan dimana terjadi peningkatan kasus yang bersamaan dari tiga penyakit yaitu COVID-19, flu dan juga infeksi akibat RSV (Respiratory Syncytial Virus).

Meski peningkatan kasus lebih banyak terjadi di negara yang mengalami musim dingin, dampak dari tripeldemik harus tetap diwaspadai, mengingat virus dapat lebih cepat berkembang di cuaca yang amat dingin.

Seperti yang terjadi di New York, Amerika Serikat misalnya. Pemerintah setempat sudah menyerukan kembali penerapan protokol kesehatan pada warganya melalui pemakaian masker, mencuci tangan dan menghindari kerumunan yang dirasa efektif mencegah penularan.

“Cara pencegahan lain adalah dengan vaksin. Kita sudah mengenal pencegahan COVID-19 dengan vaksin. Jenis vaksin terbaru COVID-19 adalah yang bivalen, yang dapat menangani varian lama dan varian Omicron, kita tentu berharap agar vaksin COVID-19 bivalen juga segera akan tersedia di negara kita,” katanya.

Pencegahan lain dapat dilakukan melalui vaksin flu yang sudah semakin berkembang dan tersebar di seluruh dunia. Vaksin flu yang kini digunakan adalah dalam bentuk kuadrivalen karena mencakup 4 strain influenza yang sekarang beredar.

Tjandra menyarankan supaya Pemerintah Indonesia terus menyosialisasikan vaksin flu termasuk vaksin pneumonia yang anjurannya adalah lebih untuk usia di atas 50 atau 60 tahun.

Namun, untuk penyakit akibat RSV belum ada vaksinnya. Selain prokes 3M, hal yang dapat digunakan adalah obat palivizumab sebagai bentuk terapi antibodi untuk mencegah bayi dan anak mendapat infeksi berat akibat RSV dan harus dirawat di rumah sakit.

RSV, kata dia, harus diperhatikan karena infeksi biasa terjadi pada anak-anak meski kini juga mengenai orang dewasa dengan gejala ringan.

Memang biasanya infeksi RSV terjadi pada anak-anak. Hanya saja kini situasinya agak berubah. Tetapi di Amerika, ada kecenderungan lebih banyak kaum dewasa yang infeksi RSVnya cukup berat dan bahkan masuk rumah sakit. Data Centers for Disease Control and Prevention 2022 menunjukkan jumlah pasien RSV yang dirawat di rumah sakit 10 kali lebih banyak dari 2021.

Mantan Direktur Penyakit Menular WHO Asia Tenggara itu mengusulkan agar pemerintah di kawasan ASEAN segera membentuk sebuah organisasi yang berwenang, supaya hal serupa dapat dipantau lebih jauh.

“Saya pernah mengusulkan agar juga dibentuk ASEAN CDC. Apalagi sekarang Indonesia memegang kekuatan ASEAN dan dapat berinisiatif memimpin pendiriannya,” ujarnya.
Baca juga: Pakar sebut 60 persen wilayah Indonesia endemis rabies
Baca juga: Mantan pejabat WHO: Hepatitis misterius belum tentu mewabah luas
Baca juga: Pakar kemukakan tiga pendekatan menilai efektivitas PPKM Darurat

Pewarta: Hreeloita Dharma Shanti
Editor: Muhammad Yusuf
Copyright © ANTARA 2022