Jakarta (ANTARA) - Bencana alam yang disebabkan oleh cuaca ekstrem menimbulkan malapetaka bagi kehidupan manusia dan makhluk hidup lainnya.
Bencana hidrometeorologi, seperti curah hujan ekstrem, angin kencang, banjir, kekeringan, puting beliung dan bencana lainnya, akibat cuaca ekstrem telah merusak banyak infrastruktur dan merenggut banyak sekali korban jiwa.
Berbagai bencana tersebut tidak hanya terjadi akibat kejadian alam biasa, tetapi juga diakibatkan oleh perubahan iklim yang dipicu oleh peningkatan suhu bumi, yang salah satunya diakibatkan oleh peningkatan emisi karbon.
Banjir di Afrika Selatan yang menewaskan sekitar 461 orang, kekeringan di Afrika Timur yang menyebabkan kematian lebih dari 200 orang, badai tropis megi yang membunuh 214 orang di Filipina serta gempa di Cianjur, Indonesia, yang merenggut 334 nyawa merupakan beberapa bukti di antara banyaknya bencana akibat perubahan iklim yang terjadi di seluruh dunia.
Fakta tersebut mendorong Sekretaris Jenderal (SePerserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) Antonio Guterres untuk menyerukan aksi iklim guna mendorong penurunan emisi karbon.
"Perubahan iklim merupakan persoalan lainnya di mana kabar baik sulit ditemukan. Kita masih bergerak ke arah yang salah," katanya, dalam sebuah konferensi pers akhir tahun di kantor pusat PBB di New York.
Ia menilai kesenjangan emisi global semakin besar, target 1,5 derajat sulit dicapai, sementara rencana iklim nasional banyak gagal.
Guterres mengharuskan semua penghasil emisi besar untuk melakukan upaya ekstra guna mengurangi emisi sejalan dengan target 1,5 derajat.
Sementara, banyak negara, termasuk Indonesia, saat ini telah banyak mengupayakan transisi energi dengan pengembangan energi baru terbarukan guna mencapai nol emisi.
Pengembangan
Dalam upaya mengurangi emisi gas rumah kaca dan mencapai target netral karbon pada 2060, Pemerintah Indonesia mengalokasikan investasi sebesar Rp10 triliun untuk tiga pihak, yakni PT PLN (Persero), Badan Pengelola Dana Lingkungan Hidup (BPDLH), dan PT Sarana Multigriya Finansial (Persero), dalam rangka pengembangan energi bersih.
Investasi itu diberikan dalam bentuk penyertaan modal negara (PMN) dan pooling fund bencana (PFB) melalui penandatanganan letter of commitment (LoC).
"Kita berharap dana yang berasal dari uang rakyat ini bisa menghasilkan manfaat yang maksimal bagi masyarakat dan perekonomian," kata Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati di Jakarta, Jumat (16/12).
Secara rinci, PLN mendapat investasi pemerintah sebesar Rp5 triliun, SMF sebesar Rp2 triliun, dan BPDLH sebesar Rp3 triliun.
Investasi sebesar Rp5 triliun untuk PLN digunakan untuk memperbaiki struktur permodalan dan kapasitas usaha dalam rangka meningkatkan kemampuan pendanaan perusahaan untuk membiayai pembangunan infrastruktur ketenagalistrikan.
Tidak hanya untuk pembangunan infrastruktur ketenagalistrikan, investasi tersebut juga digunakan untuk peningkatan bauran energi baru terbarukan (EBT) yang bermuara pada pengurangan emisi yang ditimbulkan dari pembangkit tenaga fosil.
Berikutnya, investasi Rp2 triliun untuk SMF akan digunakan untuk mendukung program satu juta rumah karena ke depan perusahaan mempunyai kapasitas untuk menjaga kesinambungan pembiayaan perumahan terjangkau bagi masyarakat berpenghasilan rendah (MBR).
Sementara, alokasi Rp3 triliun kepada BPDLH dalam bentuk dana bersama penanggulangan bencana (DBPB) digunakan untuk pengendalian perubahan iklim, pengelolaan hutan berkelanjutan, pengendalian kebakaran hutan dan lahan, serta pemulihan lahan gambut.
Selain investasi tersebut, pemerintah juga meluncurkan Pilot Project Kemitraan Pengusahaan Biomassa dan Batu Bara Sumatera Selatan untuk melakukan transisi energi guna menurunkan emisi gas rumah kaca.
Deputi Bidang koordinasi Pengelolaan Hutan dan Lingkungan Kemenko Marves Nani Hendiarti menyebutkan pengusahaan biomassa dan kerja sama rehabilitasi mangrove itu akan mendorong pengurangan penggunaan batu bara serta meningkatkan pemanfaatan energi baru terbarukan (EBT).
"Biomassa ini masuk ke dalam EBT, dan potensi yang kita miliki besar sekali. Tugas kita adalah mengupayakan pemanfaatan secara berkelanjutan. Termasuk dengan melibatkan masyarakat," katanya.
Sementara kerja sama rehabilitasi mangrove dilakukan untuk merehabilitasi 600 ribu hektare lahan mangrove. Rehabilitasi dilakukan bukan hanya dengan menanam tetapi juga melalui konservasi.
Kolaborasi
Direktur Utama PT PLN Darmawan Prasodjo mengatakan pelaksanaan transisi menuju energi baru terbarukan tidak bisa dilakukan oleh satu pihak, tetapi membutuhkan kolaborasi berbagai pemangku kepentingan.
Kolaborasi juga tidak hanya perlu dilakukan dengan pihak-pihak di dalam negeri, tetapi juga dengan negara-negara lain karena transisi energi membutuhkan investasi serta komitmen yang kuat.
Kolaborasi itu dilakukan oleh pemerintah, termasuk dengan mengajak Swedia untuk mengembangkan energi hijau.
"Indonesia mendorong Swedia untuk bekerja sama dalam upaya pengurangan emisi melalui pemanfaatan energi terbarukan, misalnya melalui proyek pengembangan green hydrogen dan green ammonia," kata Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto, dalam sebuah kesempatan, Rabu (14/12).
Indonesia juga mengundang perusahaan Swedia untuk berpartisipasi dalam proyek pembangunan Ibu Kota Negara Nusantara yang fokus pada konsep smart city dan mengedepankan aspek keberlanjutan.
Lebih luas lagi, Indonesia dan Uni Eropa juga saat ini tengah membahas kerja sama pembangunan infrastruktur energi baru terbarukan secara global sebagai upaya menindaklanjuti kesepakatan G20 Bali Leaders Declaration.
"Pemerintah Indonesia saat ini dalam tahap persiapan untuk implementasi kesepakatan JETP (Just Energy Transition Partnership) dengan pemangku kepentingan terkait, antara lain melalui pembentukan struktur kelembagaan internal,” ujar Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto.
Sementara itu, Deputi Bidang Koordinasi Infrastruktur dan Transportasi Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Rachmat Kaimuddin mengatakan bahwa Indonesia membutuhkan dukungan dari negara lain, terutama terkait dengan transfer teknologi dan investasi.
Dalam proses menuju net zero emission (NZE) pada 2060 atau lebih cepat, Indonesia telah mengupayakan transisi energi fosil ke energi listrik dalam transportasi, mengembangkan energi baru terbarukan (EBT) yang bersih, dan melakukan co-firing bio massa di sejumlah PLTU, serta elektrifikasi industri.
Semua upaya itu dilakukan oleh pemerintah sebagai wujud komitmen untuk mengurangi emisi karbon dan mencapai target netral karbon pada 2060 sehingga menciptakan kehidupan masyarakat yang lebih bersih dan berkelanjutan.
Editor: Masuki M. Astro
Copyright © ANTARA 2022