"Misalnya, jumlah anggota kabinet perempuan di Pemerintahan Joko Widodo berjumlah enam orang menteri perempuan dari 34 kementerian atau baru 14,7 persen," kata Anggota Komnas Perempuan Alimatul Qibtiyah dalam keterangan, Jakarta, Jumat.
Kemudian keterwakilan perempuan di legislatif berjumlah 123 orang dari 573 orang atau 20,8 persen.
Jumlah petinggi Polri perempuan yang berpangkat Brigadir Jenderal dan Inspektur Jenderal hanya tiga orang dari 24.722 orang Polwan.
Baca juga: Pemimpin daerah perlu memberi perhatian khusus pada perempuan dan anak
Baca juga: Ketua DPR: Perempuan Indonesia harus percaya diri jadi pemimpin
Sementara jumlah anggota TNI perempuan hanya 8.850 dari total sebanyak 444.133 anggota TNI atau sekitar 2 persen saja dan yang menduduki jabatan jenderal hanya empat orang dari 371 jabatan jenderal.
Sementara tercatat jumlah perempuan di lingkungan aparatur sipil negara (ASN) cukup baik, yaitu ada 53 persen (2.143.065) perempuan dan 47 persen (1.938.759) laki-laki.
Namun demikian, seiring dengan perjalanan karier, jumlah perempuan yang menduduki jabatan eselon I dan II tidak sebanding dengan jumlah pejabat laki-laki, yaitu hanya 13 persen.
"Timpangnya jumlah jabatan strategis antara perempuan dan laki-laki di sejumlah lembaga dan institusi menjadi sebuah pertanyaan di saat sejumlah kebijakan lembaga tidak memberlakukan diskriminasi dalam memberikan akses laki-laki dan perempuan dalam meniti jenjang karier," kata Alimatul Qibtiyah.
Pihaknya mencontohkan manajemen ASN di Indonesia menggunakan sistem merit yang memastikan setiap kebijakan dan manajemen ASN didasarkan pada kualifikasi, kompetensi, dan kinerja secara adil tanpa diskriminasi.
Adanya kebijakan tersebut memberikan dasar penentuan indikator kinerja berbasis potensi dan kapasitas setiap ASN, tanpa memandang jenis kelamin dan pola diskriminasi lainnya, sehingga dapat dikatakan sangat "netral gender".
"Artinya, setiap orang, baik laki-laki dan perempuan akan mendapat perlakuan yang sama. Padahal setiap orang membutuhkan dukungan dan perlakuan yang sesuai dengan kondisi dan kebutuhan-nya," katanya.
Menurut Alimatul Qibtiyah, kondisi perempuan dan laki-laki tidaklah sama, baik secara biologis dan peran-peran gender dalam keluarga dan masyarakat sangat dipengaruhi oleh kultur, khususnya budaya patriarki.
Budaya patriarki inilah yang membuat perempuan menghadapi hambatan-hambatan dalam karier.
"Meskipun perempuan diberi peluang karier yang sama, memiliki kapasitas dan kualifikasi yang sama dengan laki-laki, tetapi perempuan menghadapi hambatan-hambatan yang tidak dimiliki oleh laki-laki," katanya.*
Baca juga: Pakar paparkan keunggulan wanita pemimpin bisnis di era pandemi
Baca juga: Perempuan pemimpin ungkap pentingnya pendidikan hingga enterprenership
Pewarta: Anita Permata Dewi
Editor: Erafzon Saptiyulda AS
Copyright © ANTARA 2022