Namun, dari beberapa kasus plasma yang mereka selidiki, para petani itu hanya mendapatkan keuntungan rata-rata sekitar Rp2,5 juta.
Jakarta (ANTARA) - Serikat Petani Kelapa Sawit (SPKS) meminta pemerintah mengevaluasi kebijakan yang mengatur skema kemitraan petani plasma kelapa sawit karena dinilai tidak relevan lagi dengan kondisi sekarang.

"Skema kemitraan dengan mekanisme penyerahan lahan dan menempatkan perusahaan sebagai mitra yang mengelola penuh lahan masyarakat dengan pola bagi hasil sudah tidak relevan lagi, sehingga sudah seharusnya pemerintah meninggalkan skema seperti ini," kata Kepala Advokasi SPKS Marselinus Andri dalam keterangannya di Jakarta, Kamis.

Petani plasma adalah petani kelapa sawit yang bermitra dengan perusahaan swasta atau pemerintah dalam mengelola perkebunannya.

Baca juga: BPDPKS ungkap terjadi penurunan ekspor volume CPO pada 2022

Andri mengungkapkan temuan utama hasil investigasi yang dilakukan The Gecko Project (organisasi investigasi soal korupsi, perubahan iklim, hutan, dan HAM) di perkebunan sawit menunjukkan skema kemitraan gagal menghasilkan kesejahteraan bagi para petani di desa, dan sebaliknya berpotensi mengurangi pendapatan dan lahan.

Dalam temuan The Gecko Project 2022, masyarakat yang terikat dalam skema plasma disebut memperoleh bagian sangat kecil dari keuntungan yang bisa dihasilkan perkebunan.

Berdasarkan kajian-kajian lepas yang ada, kebun plasma dapat menghasilkan keuntungan lebih dari Rp22 juta per hektare tiap tahun. Para petani sawit mandiri, yang menggarap kebun tanpa dukungan perusahaan perkebunan, bisa mendapat keuntungan lebih dari Rp15 juta per hektare tiap tahun.

"Namun, dari beberapa kasus plasma yang mereka selidiki, para petani itu hanya mendapatkan keuntungan rata-rata sekitar Rp2,5 juta," kata Andri.

Dalam catatan SPKS, pendapatan petani plasma umumnya sangat rendah dan tidak cukup untuk membayar angsuran utang kredit akibat rendahnya produksi dari kebun yang dikelola tidak sesuai standar agronomis yang ditetapkan pemerintah.

“Situasi seperti ini terjadi akibat pengelolaan plasma yang tidak transparan melalui perjanjian yang cenderung hanya menguntungkan pihak perusahaan sebagai mitra," kata Andri.

Baca juga: Kemendag ajak pemangku kepentingan dukung kebijakan tata kelola sawit

Dia menyebut peran pemerintah dalam melakukan pengawasan dan evaluasi harus diimplementasikan, misalnya tindakan Penilaian Usaha Perkebunan (PUP) yang harus diterapkan.

Dari kajian yang dilakukan SPKS pada empat kabupaten penghasil sawit, lanjut Andri, rata-rata penghasilan petani swadaya mencapai Rp25 juta per hektar per tahun.

Jumlah tersebut terpaut jauh dengan pendapatan petani plasma yang seharusnya lebih besar karena pengelolaannya memenuhi standar pembiayaan serta standar teknis lainnya mulai dari pembangunan, perawatan, pemanenan untuk menunjang produksi dan produktivitas yang tinggi.

Baca juga: UI-Jepang bantu proses transfer teknologi ke perusahaan sawit nasional

Dalam temuan The Gecko Project, lanjut Andri, perusahaan besar pembeli minyak sawit seperti Nestlé, Unilever, dan Kellog’s yang memiliki komitmen terhadap keberlanjutan dengan pembelian CPO berdasar sertifikasi, membeli minyak sawit dari perusahaan-perusahaan yang membagi sedikit sekali keuntungan untuk masyarakat dalam skema kemitraan.

"Ini tentu saja kritik terhadap pihak RSPO (Roundtable and Sustainable Palm Oil) yang membiarkan produksi sawit tak sesuai ketentuan lolos dalam proses sertifikasi. Serta kritik terhadap para pembeli minyak sawit dan grup perusahaan besar di Indonesia terkait praktik sawit berkelanjutan, namun ternyata konflik masih terjadi," kata Andri.

Andri menilai RSPO maupun perusahaan pembeli minyak sawit perlu melakukan evaluasi dan pemberian sanksi yang tegas bagi perusahaan penerima sertifikat berkelanjutan atau yang menjadi pemasok CPO yang masih terlibat konflik dengan masyarakat.

Pewarta: Aditya Ramadhan
Editor: Nusarina Yuliastuti
Copyright © ANTARA 2022