Jakarta (ANTARA) - Komunitas Adat Kejawen Bonokeling di Desa Pekuncen, Jatilawang, Kabupaten Banyumas, Jawa Tengah, menjelaskan cara kelompok tersebut dalam merawat hidup berdampingan.

"Adat Bonokeling dalam praktiknya selalu menjunjung tinggi adat istiadat dan norma sosial dalam menjaga keharmonisan," kata salah seorang warga asli Desa Pekuncen sekaligus Keturunan Ke-14 Eyang Bonokeling, Karso, melalui keterangan tertulis yang diterima di Jakarta, Kamis.

Karso yang juga kepala desa setempat mengatakan secara turun temurun masyarakat terus menjaga budaya saling menghargai perbedaan keyakinan. Tujuannya agar selalu tercipta harmonisasi kehidupan bermasyarakat dan berbudaya.

Dalam penerapannya, komunitas Bonokeling yang sering disebut Islam Kejawen atau Islam Blangkon atau yang lebih umum dikenal dengan Islam Alif Rebo Wage (Aboge) selalu mengajarkan pada keturunannya (anak Putu Bonokeling) untuk selalu ingat kepada Sang Maha Pencipta.

Baca juga: Penganut Islam Aboge di Banyumas laksanakan Shalat Id pada Jumat ini
Baca juga: Penganut Islam Aboge laksanakan Shalat Idul Fitri

Karso menyebutkan dari sekitar 6.000 warga, sekitar 70 persen di antaranya merupakan anak Putu Eyang Bonokeling. Dalam kehidupan sehari hari ketika ada acara pengajian semua warga memberikan sumbangan makanan. Baik Islam Aboge maupun Islam umumnya berbaur tanpa ada perbedaan.

"Misalnya pas ada pengajian Kiai Gus Muwafiq, ibu-ibu PKK Desa Pekuncen datang menyumbang cemilan untuk jamaah yang datang," jelasnya.

Selain, anak Putu Eyang Bonokeling dan pemeluk Islam umumnya, masyarakat yang beragama Nasrani ikut membantu kelancaran acara pengajian.

Senada dengan itu, Ketua Komunitas Adat Bonokeling Desa Pekuncen, Sumitro mengatakan di desanya masih menjaga tradisi adat Islam Aboge, seperti upacara adat "perlon unggahan", "perlon udunan", "perlon sela", upacara adat sedekah bumi, dan upacara kematian.

Dalam hal perbedaan, masyarakat sangat menghormati dan menerima siapa pun dari berbagai kepercayaan selama mereka mampu beradaptasi dengan warga sekitarnya, seperti filosofi "rumah atap berbeda-beda" yang memiliki arti berusaha saling menghargai.

"Hidup di sini tidak boleh iri ataupun dengki, harus gotong royong, itu yang diajarkan Eyang Bonokeling dengan cara 'tutur pitutur' ke kelompok adat atau 'bedogol'," jelasnya.

Pewarta: Muhammad Zulfikar
Editor: Herry Soebanto
Copyright © ANTARA 2022