Tokyo (ANTARA) - Sejumlah pelaku bisnis asal Indonesia yang membuka usaha di Jepang mengungkapkan berbagai tantangan agar produk-produknya dapat diterima oleh pasar negara tersebut.

“Yang pertama itu warna dan kualitas. Biasanya orang Jepang itu suka warna-warna yang enggak terlalu mencolok, simpel dan kalem,” kata Heri Yani, pelaku usaha batik dengan jenama Yani Collection di Tokyo, Rabu.

Selain itu, lanjut dia, yakni kualitas yang harus menyesuaikan konsumen Jepang yang sebagian besar jeli sebelum membeli produk.

“Kadang ada ada agen yang reseller-nya banyak. Jadi, enggak dicek satu per satu. Suka ada sedikit yang enggak bagus, sementara di sini pembelinya lumayan demanding (menuntut) gitu. Teliti, barangnya harus benar-benar perfect (sempurna),” katanya.

Lulusan sekolah perhotelan di Jepang itu memutuskan untuk berbisnis sejak dua tahun lalu dengan menjual pakaian batik, kebaya, pakaian Muslim, kerudung dan mukena.

Satu potong pakaian batik dijual paling murah rata-rata 2.500 yen (Rp300.000) hingga tertinggi 3.500 yen (420.000), sementara kebaya 5.700 yen (Rp675.000).

Sebagian besar konsumennya masih didominasi warga negara Indonesia (WNI), tetapi saat ini mulai merambah ke konsumen Jepang yang rata-rata melalui pernikahan campur.

Sehingga, produk yang paling laris hingga saat ini adalah baju batik untuk pasangan (couple) yang dibanderol 5.000 yen (Rp600.000) masing-masing satu potong untuk pria dan wanita.

“Kebanyakan (pembeli) orang Indonesia yang menikah dengan orang asing. Kebanyakan karena perkawinan campur itu beli buat anaknya karena belum mengerti budaya, diperkenalkanlah pakaian-pakaian Indonesia,” katanya.

Yani menambahkan tantangan lainnya, yaitu ukuran. Rata-rata ukuran warga Jepang lebih kecil dari orang Indonesia pada umumnya.

“Kadang warnanya sudah cocok, ukurannya tidak cocok. Kita harus menyesuaikan karena kadang juga agen hanya jual ukuran M sampai XL, S-nya jarang, jadi susah,” ujarnya.

Selain itu, dia mengatakan proses pengiriman juga seringkali menjadi kendala. Ia memasok pakaian batik dari Solo, Jawa Tengah dan melayani pengiriman ke seluruh wilayah Jepang.

Yani berharap ke depannya batik dapat lebih dikenal dan disukai oleh masyarakat Jepang. Selain itu, ia juga berharap dapat membuat pakaian muslimah untuk para mualaf.

“Saya berharap bisa buatkan pakaian muslimah untuk mualaf. Jika ada, saya mau sedekah 50 persennya. Juga, kalau ada grup umroh saya bisa buatkan karena di sini belum ada,” ujarnya.

Gerai Nusantara.JP yang dirintis pengusaha Indonesia di salah satu bazaar di Kota Toride, Prefektur Ibaraki, Jepang. (ANTARA/ Juwita Trisna Rahayu)

Hal senada juga disampaikan pebisnis kerajinan tangan asal Indonesia, Bayu, yang mengungkapkan tantangan terberat saat memasarkan produknya adalah menjaga kualitas.

“Terutama kerajinan tangan itu beda dengan buatan pabrik yang kualitasnya bisa sama semua. Kalau kerajinan tangan harus membimbing pengrajin-pengrajin itu sendiri dengan kualitas yang bisa diterima di sini,” katanya.

Berkolaborasi dengan sejumlah pengusaha Jepang, Bayu mulai merintis Nusantara.JP sejak 2019. Produk-produk unggulannya, yakni tas anyam, peralatan makan dari kayu, serta kain batik yang jual dengan harga mulai dari 300 yen (Rp35.5000) hingga 10.000 yen (Rp1,2 juta).

Ia berharap ke depannya banyak konsumen Jepang yang mulai mengenal Indonesia agar dapat lebih mudah dalam mempromosikan produknya.

“Jadi, kalau kita ikut event itu, masih banyak yang belum tahu Indonesia. Agak sulit, harus menjelaskan Indonesia itu di mana. Kalau Bali pada tahu, tapi belum banyak yang tahu itu bagian dari Indonesia. Kadang merasa sedih,” ujarnya.

Baca juga: Indonesia-Jepang sepakati kerja sama bisnis biomassa Rp2,1 triliun
Baca juga: Indonesia raih kesepakatan bisnis Rp2,15 triliun dari pebisnis Jepang
Baca juga: KBRI Tokyo dorong percepatan kerja sama bisnis Indonesia-Jepang

Pewarta: Juwita Trisna Rahayu
Editor: Atman Ahdiat
Copyright © ANTARA 2022