Semarang (ANTARA) - Sejak 19 tahun lalu Rancangan Undang-Undang Pelindungan Pekerja Rumah Tangga (RUU PPRT) diperjuangkan di DPR RI, bahkan telah 2,5 tahun tertahan di meja pimpinan DPR agar menjadi RUU inisiatif lembaga legislatif ini.
Namun, hingga peringatan Hari Ibu Tahun 2022, RUU PPRT belum dibahas oleh pembentuk undang-undang. Koalisi Sipil untuk UU Perlindungan PRT lantas menyuarakannya kembali. Bahkan, Eva Kusuma Sundari yang pernah sebagai anggota Komisi III DPR RI dari Fraksi PDI Perjuangan pun meminta Presiden RI Joko Widodo dan Ketua DPR RI Puan Maharani bersuara terkait dengan rancangan undang-undang itu.
Pekerja rumah tangga (PRT), menurut versi Eva K. Sundari, adalah pekerja yang bekerja di balik tembok. Kekerasan yang terjadi pada PRT tersembunyi di antara tembok yang tidak terlihat. Mantan anggota DPR RI ini menilai Pemerintah dan DPR masih abai pada kenyataan-kenyataan yang menyakitkan bagi mereka.
Adapun pertimbangan yang termuat dalam RUU tentang Pelindungan PRT, antara lain, bahwa setiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak sesuai dengan harkat, martabat, dan hak asasinya sebagai manusia, sebagaimana diamanatkan dalam Pancasila dan UUD Negara RI Tahun 1945.
Pekerja rumah tangga berhak mendapatkan pengakuan dan perlakuan sebagai pekerja, sesuai harkat dan martabat kemanusiaan, serta untuk mencegah terjadinya diskriminasi dan kekerasan terhadap pekerja rumah tangga diperlukan pelindungan dan jaminan bagi pemenuhan hak-hak dasar pekerja rumah tangga, kesejahteraan serta pendidikan dan pelatihan kerja bagi pekerja rumah tangga, termasuk pelindungan terhadap pemberi kerja untuk keseimbangan hak dan kewajiban dalam hubungan kerja antara pekerja rumah tangga dan pemberi kerja.
Pertimbangan lain, dalam rangka menjamin pelindungan hukum dan sesuai dengan karakteristik pekerjaan pekerja rumah tangga yang bersifat domestik, maka diperlukan pengaturan dalam bentuk perundang-undangan.
Pelindungan yang dimaksud dalam draf RUU PPRT, yakni segala upaya untuk menjamin penghormatan dan pemenuhan hak-hak PRT untuk memperoleh rasa aman, bebas dari kekerasan, diskriminasi, dan pelanggaran hak atas PRT.
Definisi pekerja rumah tangga (PRT) versi draf RUU Pelindungan PRT adalah orang yang bekerja pada pemberi kerja untuk melakukan pekerjaan kerumahtanggaan.
Pemberi kerja adalah orang perseorangan dan/atau beberapa orang dalam suatu rumah tangga yang mempekerjakan PRT dengan membayar upah.
Di dalam draf RUU Pelindungan PRT juga dijelaskan yang dimaksud dengan hubungan kerja, yaitu hubungan sosiokultural PRT dengan pemberi kerja berdasarkan kesepakatan dan/atau perjanjian kerja, baik tertulis maupun tidak tertulis, yang mencantumkan unsur pekerjaan, perintah, upah, serta hak dan kewajiban.
Ditegaskan pula bahwa penyalur PRT adalah badan usaha yang berbadan hukum dan telah mendapat izin tertulis dari bupati/wali kota untuk merekrut dan menyalurkan PRT.
Dalam naskah tersebut juga mencantumkan kewenangan kepala daerah dalam pemberian surat izin usaha penyalur PRT (SIU-PPRT). Surat izin ini diberikan oleh bupati/wali kota kepada penyalur PRT untuk merekrut dan menyalurkan PRT yang dipekerjakan pada pemberi kerja.
Namun, soal upah yang merupakan hak PRT tidak bergantung pada upah minimum kabupaten/kota, tetapi imbalan dalam bentuk uang dari pemberi kerja berdasarkan kesepakatan atau perjanjian kerja. Begitu pula, waktu kerja berdasarkan kesepakatan pemberi kerja dan PRT.
PRT yang cuti (tidak masuk kerja dan/atau tidak melakukan pekerjaan rumah tangga dalam jangka waktu tertentu) tetap memperoleh upah.
Dalam draf RUU PPRT, mencantumkan pula ketentuan pidana pada Pasal 30, Pasal 31, dan Pasal 32. Pemberi kerja yang mendiskriminasi, mengancam, melecehkan, dan/atau menggunakan kekerasan fisik dan nonfisik kepada PRT dipidana dengan pidana penjara paling lama 8 tahun atau denda paling banyak Rp125 juta (Pasal 30).
Dalam Pasal 31 menyebutkan bahwa penyalur PRT yang memberikan informasi palsu tentang perusahaannya dan data calon PRT kepada pemberi kerja dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 tahun atau denda paling banyak Rp100 juta.
Disebutkan dalam Pasal 32 bahwa penyalur PRT yang mengintimidasi dan melakukan kekerasan kepada calon PRT dan PRT dipidana dengan pidana penjara paling lama 8 tahun atau denda paling banyak Rp125 juta.
Namun, hingga sekarang RUU tersebut belum dibahas oleh pembentuk undang-undang, Pemerintah dan DPR RI. Bahkan, Eva K. Sundari yang pernah sebagai anggota Fraksi PDI Perjuangan DPR RI menyebut bahwa pada bulan Desember 2022 merupakan titik nadir RUU PPRT. Presiden dan Ketua DPR masih bergeming dengan isu ini.
Maka, Koalisi Sipil untuk UU Perlindungan PRT mendesak Presiden dan Ketua DPR bersuara mendukung pengesahan UU PPRT demi menghentikan kekerasan dan praktik perbudakan modern terhadap ibu-ibu PRT.
Dalam percakapan WhatsApp pada hari Rabu (21/12) Eva K. Sundari dari Koalisi Sipil untuk UU Perlindungan PRT menyebutkan para ibu pekerja rumah tangga (PRT) berjatuhan menjadi korban dari semua bentuk kekerasan, ini seperti deret ukur saja. Luka dan trauma sering di luar batas kemanusiaan, bahkan mereka diperlakukan sebagai budak.
Poniah, Anik, Rizki, Rumiah, atau Khotimah, menurut anggota DPR RI periode 2005—2014 dan 2016—2019 dari PDI Perjuangan ini, mewakili ribuan korban yang masih tersembunyi di balik tembok dan gembok para majikan atau para pemberi kerja.
Para ibu PRT tersebut sudah pasti dari kelompok keluarga miskin dan papa. Mereka dianggap kaum yang disisihkan masyarakat dan Negara. Sementara itu, para pelakunya bisa siapa saja, mulai keluarga biasa, hingga keluarga kaya raya, terpelajar, warga negara Indonesia maupun warga negara asing (WNA).
"Yang pasti adanya kekosongan hukum membuka ruang tindak kesewenangan yang membuat para ibu-ibu PRT menderita sepanjang hidup mereka," ujar Eva.
Oleh karena itu, pada tanggal cantik, 21-12-2022, para ibu PRT di Indonesia ini melakukan aksi di delapan kota di Indonesia dan meminta perhatian Presiden Jokowi dan Ketua DPR Puan Maharani agar para PRT tidak dipandang rendah, sebelah mata, diakui keberadaannya sebagai pekerja dan manusia.
Para ibu meminta kepada Presiden Jokowi dan Ketua DPR Puan Maharani untuk menghentikan kekerasan, diskriminasi yang selama ini terjadi pada PRT.
Aksi ini, kata Eva, merupakan bagian dari aksi serentak "Rabuan PRT: Payung Duka Seribu Ibu-Ibu PRT di Indonesia". Aksi diadakan serentak di delapan kota, yakni Jakarta, Kota Malang, Kota Surabaya, Tangerang Selatan, Yogyakarta, Kota Semarang, Kota Medan, dan Kota Makassar.
Peserta aksi berkebaya dan membawa payung hitam bertuliskan: #SAHKAN RUU PPRT selama menyampaikan aspirasi mereka dalam berbagai bentuk ekspresi.
Editor: Masuki M. Astro
Copyright © ANTARA 2022