Yogyakarta (ANTARA News) - Para pengungsi Merapi mulai mengalami stres meski masih ringan dan belum mengganggu aktivitas sehari-hari, kata Direktur Rumah Sakit Jiwa (RSJ) Ghrasia Pakem Kabupaten Sleman, Yogyakarta, dr Andung Prihadi Santosa MKes, Jumat.
Ia mengatakan, ada seorang warga yang memeriksakan diri ke RS Jiwa Grhasia dengan indikasi stres ringan yang berdampak pada gangguan fisik seperi susah tidur, perut sakit, dan jantung berdebar.
"Sekarang ada ratusan pengungsi yang menempati barak. Keberadaan mereka di pengungsian bisa menjadi pemicu terjadinya stres," ujarnya.
Meski demikian, kata dia, yang penting ada sosialisasi kepada para pengungsi bahwa kondisi sekarang merupakan fenomena alam, karena itu pengungsi diminta terus berdoa dan berpasrah diri.
"Kalau selama ini mereka dalam situasi terkatung-katung di barak pengungsian, dan secara kejiwaan dianggap berat, hal itu bisa menjadi pemicu gangguan kejiwaan," tambahnya.
Ia mengatakan, antisipasinya adalah menghilangkan rasa stres itu sendiri, misalnya mereka pulang ke rumah untuk menghilangkan stres tersebut meski cara ini tidak direkomendasikan karena aktivitas Merapi.
"Yang penting bagi mereka adalah mematuhi anjuran pemerintah dengan tetap tinggal di pengungsian, namun kondisinya bisa diperbaiki," ujarnya.
Menurut Andung, sejak dulu memang tidak selalu terpikirkan tentang model pengungsian yang nyaman, sebab dengan kondisi seperti sekarang seseorang secara lambat atau cepat bisa mengalami stres.
Upaya untuk mengantisipasi stres mestinya dilakukan dengan memberikan dukungan secara psikologis kepada para pengungsi.
"Bahkan katanya PMI akan menerjunkan tim untuk memberikan dukungan psikologis dengan tugas memberikan konsultasi psikologi kepada para pengungsi," tambahnya.(*)
Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2006