Jakarta (ANTARA News) - Psikolog Ratna Djuwita benar-benar kelihatan trenyuh ketika menceritakan bahwa seorang pelajar SMP nyaris bunuh diri, karena hampir setiap hari "dibantai" kawan-kawan sekolahnya dengan sebutan anak tukang jual bubur ayam. "Ini kenyataan lho, anak itu nyaris bunuh diri karena ejekan teman-temannya. Padahal sekolah seharusnya menjadi tempat yang menyenangkan buat pelajar untuk mengembangkan diri," kata Ratna di sela-sela "Workshop Bullying: Masalah Tersembunyi dalam Dunia Pendidikan di Indonesia" yang diselenggarakan Yayasan Semai Jiwa Amini (SEJIWA) didukung General Electric (GE), GE Volunteers dan Exxon Mobil Oil Indonesia Inc. di Jakarta, pekan lalu. "Ejekan yang dilontarkan temannya secara bertubi-tubi dan terus menerus itu membuat si pelajar SMP merasa menjadi manusia yang sama sekali tidak berarti. Perasaan inferior itulah antara lain yang menjadi ciri-ciri korban tindakan bullying," kata Ratna yang juga Manager Sumber daya Manusia (SDM) di Fakultas Psikologi Universitas Indonesia (UI). Ratna juga menceritakan kasus lain "bullying" berkenaan dengan kegiatan orientasi sekolah untuk siswa baru. Siswa senior kerap "membenarkan diri" memerintah adik-adik kelasnya yang baru masuk. "Saya dapat cerita, ada yang disuruh menulis 50 lirik lagu berbahasa Inggris dengan tulisan tangan atau ada yang lebih heboh yakni si siswa baru diminta mengumpulkan uang satu juta rupiah untuk kakak kelasnya yang mau piknik. Itu semua perilaku bullying," kata Ratna bersemangat. Bullying, dalam makalah Ratna diartikan sebagai bentuk-bentuk perilaku di mana sering terjadi pemaksaan atau usaha untuk menyakiti secara psikologis ataupun fisik terhadap seseorang/sekelompok orang yang lebih `lemah` oleh seseorang/sekelompok orang yang lebih `kuat`. "Selain tawuran sebenarnya ada dua bentuk perilaku agresif atau kekerasan yang mungkin sudah lama terjadi di sekolah-sekolah, namun tidak begitu mendapatkan perhatian, bahkan ada pihak-pihak yang tidak tidak menganggapnya sebagai hal yang serius," kata Ratna. Kekerasan itu adalah bullying (peer victimization) dan hazing. Hazing adalah kegiatan yang biasanya dilakukan oleh anggota kelompok yang sudah "senior", yang berupa keharusan bagi "yunior" untuk melakukan tugas-tugas yang memalukan, melecehkan bahkan juga menyiksa atau setidaknya menimbulkan ketidaknyamanan fisik maupun psikis sebagai syarat penerimaan anggota baru sebuah kelompok. Kegiatan-kegiatan seperti itu dikenal dengan nama Masa Orientasi Studi (MOS) yang biasanya sudah menjadi tradisi dari tahun ke tahun terutama SMP dan SMA di Indonesia. "Walaupun tujuan dari hazing adalah untuk inisiasi penerimaan seseorang dalam sebuah kelompok, dan biasanya kegiatan inisiasi ini hanya berlangsung selama beberapa hari saja, namun dalam beberapa tahun terakhir, ada kecenderungan untuk memperpanjang inisiasi," kata Ratna. Masih menurut Ratna, di sebagian besar negara Barat, baik hazing dan terutama bullying dianggap sebagai hal serius karena cukup banyak penelitian menunjukkan bahwa dampak perilaku ini sangat negatif. Penelitian itu menunjukkan siswa yang menjadi korban bullying akan mengalami kesulitan dalam bergaul, merasa takut datang ke sekolah sehingga absensi mereka tinggi dan ketinggalan pelajaran, mengalami kesulitan berkonsentrasi dalam mengikuti pelajaran dan kesehatan mental maupun fisik jangka pendek maupun panjang mereka akan terpengaruh. Apa itu Bullying? Ratiyono dari Dinas Dikmenti Provinsi DKI Jakarta memberikan arti bullying sebagai perilaku yang tak senonoh yang diarahkan kepada orang lain yang dianggap lebih lemah. Perilaku bullying dapat berwujud fisik, verbal dan psikologis. Yang berwujud fisik antara lain memukul, menjewer, mencubit, meninju, mendorong, menendang, menjitak, mendorong kepala, menarik alis mata, melempar penghapus, kapur, sapu dan buku, menjemur korban di panas atau hujan, menyuruh siswa lari, push up, merangkak, berdiri di depan kelas, mengompas/memalak, perpeloncoan/ospek, dll. Bullying secara verbal antara lain menuduh atau menyalahkan, mengeritik dengan tajam dan menyakitkan, menjuluki, melecehkan, memfitnah dan menyebarkan gosip, membentak-bentak, mengecilkan, menghina dan mendiamkan. Sedangkan secara psikologis adalah ekspresi muka merendahkan, kasar atau tidak sopan, mempermalukan di depan umum dan mengucilkan (tidak menghiraukan korban, tidak menganggap ada korban). Bullying dapat terjadi kepada siapa pun dan di mana pun, seperti di kantor pemerintah, perusahaan swasta, instansi pendidikan dan lain-lain. Tindakan bullying dapat terjadi dari atasan kepada bawahan, antarkaryawan, dari kepala sekolah kepada guru, antarguru, guru kepada murid dan antarmurid. Andrew Mellor, Manajer Jaringankerja Anti-Bullying dari University of Edinburgh, Inggris, menengarai ada beberapa orang yang secara konsisten melakukan bullying. Orang-orang seperti itu biasanya agresif, impulsif dan kurang memiliki empati. Mereka umumnya juga memiliki kekuatan secara fisik dan emosional. Istilah Bullying, menurut laporan SEJIWA, belum banyak dikenal di Indonesia, kendati fenomena bullying telah lama menjadi bagian dari dinamika kehidupan di sekolah-sekolah negeri ini. Sebenarnya bullying dapat ditemukan di mana-mana antara lain "ketika ada sejumlah orang yang merasa punya kekuasaan menemukan pihak lain untuk dikuasai". Umumnya, orang lebih mengenal bullying dengan istilah penggencetan, pemalakan, pengucilan, intimidasi dan lain-lain. Hasil konsultasi dengan anak-anak di 18 provinsi yang dilakukan pada tahun 2005 memperlihatkan bahwa sekolah dapat menjadi tempat yang berbahaya bagi anak-anak karena banyak ragam kekerasan terjadi di sekolah. Bahkan Hironimus Sugi dari Plan International berani menyimpulkan bahwa dari hasil konsultasi dengan anak-anak itu bahwa kekerasan pada anak-anak di sekolah menduduki peringkat kedua setelah kekerasan pada anak-anak dalam rumah tangga. Survei yang dilakukan SEJIWA antara lain juga menyimpulkan bahwa peran guru sangat diperlukan untuk mengatasi bullying dan menciptakan lingkungan yang positif di sekolah. Hanya patut disayangkan, dampak negatif bullying masih belum disadari sepenuhnya oleh para guru. Hasil survei SEJIWA pada guru-guru di tiga SMA pada dua kota besar di P. Jawa menunjukkan bahwa 18,3 persen guru (sekitar 1 dari 5 guru) mengganggap bahwa penggencetan dan olok-olok adalah hal biasa dalam kehidupan remaja dan tidak perlu diributkan. Sebanyak 27,5 persen guru (sekitar 1 dari 4 guru) berpendapat bahwa sesekali mengalami penindasan tidak akan berdampak buruk pada kondisi psikologis siswa. Akibat kurang menyadari dampak negatif tersebut, para guru tidak secara efektif mengatasi masalah bullying di sekolah. Bahkan, ada kalanya para guru juga melakukan bullying pada siswa dalam rangka mendidik dan menegakkan disiplin. Umumnya, guru-guru yang cenderung melakukan bullying adalah mereka yang bertipe agresif. Dari hasil survei yang dilakukan SEJIWA terhadap lebih dari 600 guru di 32 sekolah di 7 kota menunjukkan bahwa rata-rata para guru mempersepsi ada sekitar 37 persen guru yang bertipe agresif. Ada hasil survei SEJIWA pada 2 SMA di Jakarta dan satu di Semarang yang perlu disimak yakni 10 persen (1 dari 10 guru) berpendapat bahwa hukuman fisik adalah cara menegur yang paling efektif. Selain itu, sepuluh persen guru (1 dari 10 guru) menghukum siswa yang melakukan kesalahan dengan hukuman fisik dan 36 persen siswa (hampir 4 dari 10 siswa) mengemukakan bahwa guru mereka membentak dan memojokkan siswa agar siswa mengakui kesalahannya. Jika peserta ujian akhir nasional (UAN) tahun 2004 saja sebanyak 3.672.500 siswa, berapa jumlah siswa SMP atau SMA yang pernah dibentak gurunya? Cara mengatasi bullying Ratna Djuwita yang risau dengan fenomena gunung es bullying menyatakan harus dilakukan sesuatu untuk mengatasi tindakan buruk itu di mana pun juga. "Saya mengkhawatirkan tindakan bulyying karena masyarakat kelihatan menganggapnya sebagai hal yang wajar. Padahal kalau kita diam saja ada kesan kita melegalkan tradisi dendam, khususnya di sekolah-sekolah," kata Ratna. Menurut wanita lembut ini, pemerintah harus punya kebijakan anti-bullying yang jelas dalam mengatasi bullying tersebut. Misalnya, bagaimana sekolah-sekolah memberikan pendekatan terhadap tindakan bullying, baik kepada pelaku bullying, korban bulying atau pihak-pihak yang mengetahui terjadinya tindak bullying. "Harus dilakukan pendekatan yang tidak menyalahkan dalam mengatasi bullying karena dalam hal bullying kita tidak dapat menyalahkan pihak tertentu saja," kata Ratna. Dia juga menilai, guru-guru perlu dibekali dengan keterampilan berkomunikasi dalam menyelesaikan kasus bullying. "Guru-guru dapat menghadirkan seluruh pihak yang terkait dengan tindakan bulying, sama-sama berbicara untuk mencari jalan keluarnya," kata Ratna. Sedangkan Ratiyono mengemukakan dua strategi untuk mengatasi bulying yakni strategi umum dan khusus. Strategi umum dijabarkan dengan menciptakan kultur sekolah yang sehat. Ratiyono mendeskripsikan kultur sekolah sebagai pola nilai-nilai, norma, sikap, ritual, mitos dan kebiasaan-kebiasaan yang dibentuk dalam perjalanan panjang sekolah. Kultur sekolah dilaksanakan oleh warga sekolah secara bersama baik oleh kepala sekolah, guru, staf administrasi maupun siswa sebagai dasar dalam memahami dan memecahkan berbagai persoalan yang muncul. "Hal ini dilakukan untuk menciptakan situasi yang saling menghargai, menyenangkan, menyejukkan, mengasyikan dan mencerdaskan," kata Ratiyono. Sedangkan strategi khusus adalah mengidentifikasi faktor internal dan eksternal yang menyebabkan terjadinya tindakan bullying di lingkungan sekolah, aktifkan semua komponen secara proporsional sesuai perannya dalam menanggulangi perilaku bullying, susun program aksi penanggulangan bullying berdasarkan analisis menyeluruh dan melakukan evaluasi dan pemantauan secara periodik dan berkelanjutan. Yang tak kalah pentingnya, para orang tua pun diminta untuk ikut menyelamatkan anak-anak mereka dari tindakan tak terpuji itu. (*)
Copyright © ANTARA 2006