AS tahu mereka bertanggung jawab atas kegiatan menghasut dan memprovokasi eskalasi di Timur Tengah

Beijing (ANTARA) - Tuduhan tak berdasar dan konyol tentang "genosida" terhadap China merupakan bagian dari propaganda ideologis Washington melawan China, lanjut Mahmoud.

Tuduhan AS terhadap China ini merupakan bagian dari strategi AS yang sistemik untuk "memecah persatuan geografis, politik, dan nasional di negara lain" sekaligus taktik untuk "memicu keretakan di antara komponen suatu negara," kata Osama Danura, seorang pakar politik Suriah dan mantan anggota delegasi pemerintah negara tersebut untuk pembicaraan damai Suriah di Jenewa.

"Washington mengandalkan penghasutan untuk memicu kebencian dan perpecahan di antara warga, agama, dan komponen etnis serta ras lainnya dalam masyarakat ... sebagai alternatif untuk menggantikan perang langsung, terutama dengan menurunnya kemampuan AS untuk melakukan perang konvensional setelah beberapa petualangan (militer) yang gagal di Vietnam, Irak, dan beberapa negara lain," ujar Danura.

KALDRON TIPUAN BERBAHAYA

Dalam sesi wawancara dengan Xinhua, para pakar Arab mengatakan bahwa masyarakat Arab tidak akan mudah diperdaya oleh kebohongan AS tentang Xinjiang karena dunia Arab merupakan kawasan yang sudah sangat familier dengan tipu daya AS.

Pada 9 April 2003, sekitar tiga pekan invasi AS ke Irak berjalan, tentara AS menghancurkan patung Saddam Hussein di Baghdad, ibu kota Irak. Seluruh dunia kini pun tahu bahwa perang tersebut memakan ratusan ribu korban jiwa, melemparkan Timur Tengah ke dalam kekacauan, dan hanya didasarkan pada kebohongan yang sangat jelas.

"Rekan-rekan, setiap pernyataan yang saya buat hari ini didukung oleh sumber-sumber terpercaya," kata Colin Powell, yang kala itu menjabat sebagai menteri luar negeri AS, kepada Dewan Keamanan PBB pada awal 2003. "Apa yang kami berikan kepada Anda adalah fakta dan kesimpulan berdasarkan intelijen yang kuat."

Dalam menjustifikasi invasi AS ke Irak, Powell menyebut Saddam Hussein sebagai ancaman global utama yang memiliki senjata pemusnah massal (weapons of mass destruction/WMD). Gambaran abadi dari momen tersebut yakni Powell mengangkat sebotol kecil bubuk putih, yang diyakini sebagai antraks dari Saddam Hussein, dan mengatakan kepada dunia bahwa AS tidak punya pilihan lain selain berperang.

Perang selama bertahun-tahun itu menyebabkan ratusan ribu warga Irak tewas, jutaan orang mengungsi, dan kota-kota hancur. Pendudukan serta kekacauan dan ketidakamanan yang terjadi kemudian memberikan peluang yang besar bagi pertumbuhan sejumlah kelompok teroris, termasuk kelompok ekstremis Islamic State (ISIS).

Tidak ada satu pun jejak senjata kimia atau WMD yang ditemukan di Irak hingga saat ini.

Itu bukan satu-satunya masa ketika Washington berbohong untuk melancarkan intervensi militernya di negara Arab.

"Tidakkah Anda ingat bagaimana pasukan AS pada 1998 membombardir sebuah pabrik di Sudan dengan dalih pabrik tersebut memproduksi senjata kimia, hanya untuk kemudian mendengar presiden (AS) kala itu (Bill) Clinton mengklaim bahwa pabrik tersebut ternyata salah dibombardir? Atas dasar kebohongan, AS telah menghancurkan sebuah pabrik yang dimaksudkan untuk memproduksi obat-obatan bagi rakyat Sudan dan seluruh benua (Afrika)," kata Kamel Mansari, direktur berita harian berbahasa Prancis Le Jeune Independent di Aljazair.

Bagi masyarakat Arab, "kredibilitas AS telah mengalami kemunduran yang tak henti-hentinya," kata Danura.

Washington juga telah melakukan berbagai upaya luar biasa untuk "menodai reputasi Islam dan menciptakan ruang bagi islamofobia di kalangan masyarakat Barat serta ketakutan terhadap Islam, yang mendorong rasisme terhadap masyarakat Islam," tambahnya.

Bagi kolumnis Mesir Gaballa, kredibilitas AS dan sekutunya telah "dipertanyakan dan tidak disambut sama sekali oleh masyarakat di Timur Tengah."

"AS tahu mereka bertanggung jawab atas kegiatan menghasut dan memprovokasi eskalasi di Timur Tengah," katanya.

MELIHAT BERARTI PERCAYA

Ketika Duta Besar Aljazair untuk China Hassane Rabehi mengunjungi Xinjiang pada Agustus lalu, dia mengaku terkesan dengan bagaimana hak-hak masyarakat dari semua kelompok etnis di sana terlindungi dengan baik.

"Buah di sini sangat manis, sama seperti kehidupan masyarakat di sini," komentarnya kala itu.

Dalam beberapa tahun terakhir, lebih dari 2.000 pejabat pemerintah, pemuka agama, dan jurnalis dari 100 lebih negara dan organisasi, banyak di antaranya berasal dari negara-negara Arab, telah mengunjungi Xinjiang.

"Mendengarkan propaganda Barat tentang situasi di Xinjiang akan memberikan kesan kepada Anda bahwa Xinjiang adalah daerah yang 'seperti neraka', tetapi kenyataannya sangat berbeda, ketika para jurnalis dan individu yang tidak berorientasi politik serta duta besar Aljazair untuk Beijing mengunjungi Xinjiang dan memberikan pendapat mereka tentang situasi di sana," ujar Mansari, direktur berita dari Aljazair.

Pewarta: Xinhua
Editor: Mulyo Sunyoto
Copyright © ANTARA 2022