Jakarta (ANTARA) - Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Indonesia Prof Indriyanto Seno Adji menilai Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) yang baru bersifat netral dan demokratis.

"KUHP nasional yang baru saya nilai sangat progresif, moderat, netral, dan demokratis dengan mempertimbangkan dan mengakomodir masukan-masukan dari masyarakat sipil, praktisi, dan akademisi hukum. Bahkan representasi masyarakat adat sebagai bentuk meaningful public participation sesuai mandat UU," kata Indriyanto dalam keterangan di Jakarta Selasa.

Dia mengapresiasi pengesahan RKUHP menjadi undang-undang. Menurutnya, pengesahan RKUHP menjadi KUHP merupakan momentum bersejarah dari eksistensi regulasi KUHP nasional terlepas adanya pihak-pihak tertentu yang keberatan atas pengesahan ini.

Dia mengatakan keberatan dari beberapa pihak tentunya dari perbedaan cara pendekatan memberikan persepsi secara sosiologis. Sedangkan persepsi dari sisi hukum pidana tentu akan berbeda.

Baca juga: KSP: Pasal perzinaan KUHP cegah perilaku main hakim sendiri

Indriyanto mencontohkan pasal perzinahan (adultery) telah diatur sebagai delik aduan absolut (suami dan atau istri atau anaknya dan tidak secara serampangan umum dapat melakukan aduan tersebut).

Hal itu, papar dia, sebagai salah satu bentuk kontrol sosial agar tidak terjadi persekusi yang justru melanggar hukum. Delik kohabitasi hanya dapat dilakukan berdasarkan delik aduan absolut.

"Dengan demikian pemahaman yang kabur mengenai KUHP soal pengaruh negatifnya terhadap turis dan investasi tidak tepat. KUHP menjamin tidak akan ada pemidanaan terhadap kekhawatiran tersebut. KUHP nasional menjamin bahwa tidak akan terjadi kekhawatiran dampak negatif kepada turis dan investasi di Indonesia," ucapnya.

Baca juga: Wagub Bali bantah pembatalan wisman datang akibat pengesahan KUHP

Indriyanto menyayangkan pemahaman beberapa pihak terhadap KUHP yang baru tidak secara mendalam, utuh, dan rinci. Menurut dia, pihak yang keberatan dengan pasal perzinahan dan kohabitasi justru mengarah pada pola pikir liberalisme seksual yang tidak mungkin diterapkan pada sistem hukum pidana di Indonesia.

"Indonesia mengakui adanya asas-asas (pidana) hukum adat (pidana) yang diakui dan diterima oleh hukum pidana nasional," katanya.

Sosialisasi dan diskusi publik mengenai RKUHP sudah pemerintah laksanakan sejak tiga tahun lalu, saat penundaan RKUHP pada 2019. Pada 2021, sosialisasi digelar di 12 kota provinsi dan setelah pengesahan, pemerintah kembali memiliki waktu tiga tahun untuk sosialisasi, paparnya.

"Waktu tiga tahun ini sangat memadai bagi sosialisasi dan diskusi publik. Sebaiknya ini dimanfaatkan dan dicermati oleh pihak-pihak yang keberatan atas sahnya KUHP," ujar Indriyanto.

Pewarta: Boyke Ledy Watra
Editor: Herry Soebanto
Copyright © ANTARA 2022