Jakarta (ANTARA) - Yayasan Abhipraya Insan Cendekia Indonesia (YAICI) menyatakan tingginya angka prevalensi anak stunting yang mencapai 24,4 persen di tahun 2021 merupakan bukti dari rendahnya literasi terkait gizi masyarakat di Indonesia.
“Yang paling dominan literasi gizi keluarga. Mereka belum tahu terutama ibu dalam mengetahui makanan yang baik dan jadi solusi bagi balita. Sumber gizi masih kurang dan secara tidak tepat, literasi gizi ternyata berpengaruh pada banyak hal,” kata Ketua Harian YAICI Arif Hidayat dalam Temu Media Laporan Capaian Edukasi dan Peningkatan Literasi Gizi di Jakarta, Senin.
Arif menuturkan berdasarkan data milik Badan Pangan dan Pertanian PBB (FAO) pada 2021, sebanyak 69,1 persen masyarakat Indonesia tidak mampu membeli makanan bergizi. Persentase tersebut menjadi relevan dengan masih tingginya prevalensi stunting di Indonesia.
Data itu juga menunjukkan bahwa kecukupan gizi anak bangsa, masih sangat jauh apabila asupan gizi keluarga secara umum juga belum terpenuhi.
Baca juga: BKKBN gencarkan sosialisasi ASI cegah stunting pada anak
Baca juga: Peneliti: Penguatan posyandu kunci penting pencegahan stunting
Kemudian dalam temuan di lapangan yang dilakukan YAICI, prevalensi stunting yang tinggi juga disebabkan oleh edukasi gizi yang rendah dalam keluarga. Contohnya di Timur Tengah Selatan, NTT, beberapa keluarga cenderung memberikan uang saku pada anaknya dibandingkan langsung membelikan makanan sehat seperti ikan atau sayur yang mudah di dapat di lingkungannya.
Akibatnya, uang saku yang diberikan dimanfaatkan oleh anak untuk membeli makanan atau minuman yang mengandung perisa dan gula yang sangat tinggi seperti sirop ataupun teh kemasan.
Temuan lain yang didapat YAICI yakni adanya ketidakjujuran akan data status gizi masyarakat. Banyak daerah lokasi survei mengklaim jika penurunan angka stuntingnya cukup tinggi. Namun, kondisi di lapangan tidak menunjukkan hal yang sama, misalnya dalam sistem pengukuran tumbuh kembang anak yang terkadang masih dilakukan tidak tepat.
“Kami selalu mempertanyakan apakah angka tersebut hasil pendataan riil di lapangan atau sekadar mengejar target yang ditetapkan? Karena data-data dari masyarakat tersebut adalah dasar bagi pemerintah melakukan intervensi gizi untuk masyarakat. Jika angkanya dikecilkan, artinya ada masyarakat yang kehilangan haknya,” ujar Arif.
Ketua Majelis Kesehatan PP Aisyiyah Chairunnisa menambahkan penelitian yang dilakukan bersama YAICI juga menemukan salah satu penyebab stunting adalah kental manis yang banyak terutama di remote area.
Faktor pemberian kental manis karena pemasukan bulanan mereka yang masih banyak di bawah Upah Minimum Regional (UMR). Terlebih kental manis mudah dijangkau dan ditemukan dimana saja.
"Literasi masih sangat penting untuk meningkatkan pengetahuan terkait gizi dan stunting. Banyak masyarakat daerah yang akhirnya menjadikan kental manis sebagai opsi untuk pemberian nutrisi gizi bagi anak," katanya.
Ketua Bidang Kesehatan PP Muslimat NU, Erna Yulia Soefihara turut mengatakan bahwa anak cerdas adalah investasi masa depan yang harus disiapkan melalui pemberian edukasi mengenai kebutuhan protein tinggi dan asupan gizi yang cukup.
"Persoalan-persoalan terkait gizi dapat dilakukan bersama dan pendekatan perubahan perilaku dilakukan dengan melibatkan banyak orang, salah satunya ibu muda dengan edukasi tersebut terkait asupan gizi,” katanya.*
Baca juga: Kemenko ingatkan pentingnya pemeriksaan kehamilan untuk cegah stunting
Baca juga: Pangdam XIV/Hasanuddin ajak semua pihak turunkan prevalensi stunting
Pewarta: Hreeloita Dharma Shanti
Editor: Erafzon Saptiyulda AS
Copyright © ANTARA 2022