Ambon (ANTARA) - Dua kelompok warga berdiri saling berhadap-hadapan dengan iringan rentak perkusi tifa dan gong di Negeri Soya, Kota Ambon. Bulan purnama tampak bulat sempurna menerangi malam di pekan kedua Desember 2022, saat ratusan orang dari berbagai usia itu disatukan oleh sehelai "kain gandong" memuncaki tradisi Cuci Negeri Soya.
Mundur sehari sebelumnya, Oma Lourehatta Soa Pera bersenandung sambil tangannya mencabuti rumput di rumah adat Baileo Samasuru Negeri Soya. Perempuan berusia 72 tahun itu mengoordinir puluhan perempuan dewasa di Baileo untuk mempersiapkan Cuci Negeri Soya, sebuah tradisi turun temurun dari Kerajaan Soya yang dulu merupakan salah satu kerajaan besar di Ambon. Ini bukan perayaan biasa, apalagi sekadar pesta, melainkan ikhtiar merawat kearifan lokal yang kaya akan nilai-nilai universal, yang mungkin bagi sebagian orang sudah dilupakan.
Cuci Negeri Soya telah ditetapkan sebagai warisan budaya tak benda sejak 20 Oktober 2015 oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia saat dijabat oleh Anies Baswedan. Pengakuan terhadap tradisi tersebut semakin tebal setelah Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Riset dan Teknologi RI pada 9 Desember lalu memberikan penghargaan Anugerah Kebudayaan Indonesia (AKI) Tahun 2022 kepada Negeri Soya karena melestarikan cuci negeri.
"Gunung yang tinggi ku naik, naik, naik, mencari damai. Ke lembah jurang ku turun, turun, turun, mencari damai. Akhirnya damai tiada lagi kudapati juga, kecuali hanya di dalam Yesus Tuhan," demikian Oma Lourehatta bernyanyi.
Gotong-royong
Awal Cuci Negeri Soya ditandai dengan dua orang lelaki membawa perkusi tahuri berkeliling ke empat titik adat guna menyampaikan tabaos atau seruan dari Raja Soya pada Selasa malam, tanggal 6 Desember. Setelah alat musik dari kulit kerang itu ditiup, mereka menyampaikan pemberitahuan kepada warga bahwa tradisi Cuci Negeri Soya akan berlangsung selama lima hari ke depan.
Rangkaian tradisi dimulai dengan pembersihan negeri selama dua hari. Mulai dari anak muda, orang dewasa hingga orang tua, turun tangan bersama-sama membersihkan lingkungan tempat tinggal mereka, terutama di kawasan sekitar gereja sampai ke batu besar, perkuburan, dan Baileo. Selain itu, sejumlah perempuan lainnya juga sibuk di dapur untuk memasak empat jenis makanan tradisional, yakni kue porcis yang terbuat dari adonan sari pohon enau, kue bolu bubengka terbuat dari campuran gula merah dan kenari, kue wajik terbuat dari ketan dan gula, serta nasi pulut bambu yang dibakar.
Budaya kebersamaan pada tradisi ini juga bisa dilihat dari kerelaan warga menyumbangkan apa yang mereka punya untuk mendanai cuci negeri. Ada yang menyumbang uang, minuman, makanan, rokok, dan minimal menyumbangkan tenaga.
Hiruk pikuk warga di desa adat itu sangat terasa sejak pagi hari, terutama di Baileo Samasuru di mana Oma Lourehatta mencabuti rumput. Rumah adat khas Negeri Soya langsung menyatu dengan alam karena hanya berupa tanah lapang yang beratapkan langit tanpa ada dinding maupun pintu. Baileo Samasuru berada di puncak bukit, berbentuk persegi panjang yang luasnya diperkirakan sekitar 200 meter persegi dan ditumbuhi belukar setinggi setengah meter. Yang paling mencolok di sana adalah dua tumpukan batu gunung yang digunakan sebagai meja, dan satu tumpukan lainnya di tanah yang lebih tinggi untuk meletakkan tahuri dan bejana tempat sirih.
Puluhan perempuan dewasa yang sudah menikah, atau mata ina, bergotong-royong di Baileo. Oma Lourehatta mengatakan hanya mata ina yang diperbolehkan membersihkan Baileo Samasuru dan wajib mengenakan kebaya ambon. Selain itu, mata ina juga harus membersihkan ilalang dan belukar di Baileo dengan cara mencabut dengan tangan kosong, tidak boleh memakai mesin. Perempuan dewasa yang pertama kali ikut dalam prosesi tersebut atau mata ina baru, juga mendapat tugas tambahan membawa sirih pinang dan anggur untuk mata ina lainnya.
"Rumput harus cabut pakai tangan dan mata ina memakai kebaya, karena adatnya seperti itu," kata perempuan berusia 72 tahun itu.
Makna Kain Gandong
Puncak tradisi cuci negeri selalu berlangsung pada hari Jumat sore, diawali dengan sekelompok lelaki dewasa dari marga Soa Pera naik ke puncak Gunung Sirimau pada malam sehari sebelumnya. Mereka harus berpuasa selama di perjalanan dengan iringan rentak alat musik tifa, gong, dan tahuri. Rombongan itu dipimpin oleh seorang kepala soa adat, dan di puncak Gunung Sirimau mereka membersihkan penampung air (tempayang) peninggalan leluhur sambil memanjatkan doa dan mengisahkan cerita sejarah Negeri Soya.
Pada Jumat sore mereka turun gunung untuk menjemput Raja Soya dan bersama-sama menuju Baileo Samasuru. Mereka berjalan kaki dengan iringan tifa dan orang paling depan membawa bendera tanah warna merah khas Soya dan bendera merah putih. Di Baileo semua warga mendengarkan titah dan pesan raja, wejangan dari pendeta, penjelasan tentang kain gandong oleh kepala soa tertua, dilanjutkan dengan pembacaan kapata oleh kepala soa adat yang diawali dengan peniupan tahuri. Kapata adalah doa dan permohonan agar Negeri Soya dan warganya diberi perlindungan Tuhan dan dijauhkan dari penyakit.
Kepala Soa Adat Negeri Soya Mords Huwaa menjelaskan, inti dari tradisi Cuci Negeri Soya. Selain untuk melestarikan adat juga untuk merawat nilai-nilai yang terkandung di dalamnya, seperti persekutuan, kebersamaan, toleransi, kebersihan, dan gotong-royong. Menurut dia, dari cerita turun temurun orang-orang tua menjelaskan tradisi cuci negeri sudah ada sejak para leluhur Negeri Soya menganut Hindu karena pengaruh hubungan dagang dan pernikahan dengan kerajaan Majapahit. Tradisi itu lalu makin berkembang ketika masuk pengaruh Islam, Katolik, dan akhirnya masuk pengaruh Kristen Protestan yang kini menjadi agama mayoritas warga setempat.
Tradisi tersebut mengalami akulturasi seiring dengan dinamika perubahan yang masuk ke Negeri Soya. Salah satu perubahan pada prosesi cuci negeri adalah penggunaan bahasa Indonesia pada kapata (doa), yang dulu seluruhnya menggunakan bahasa tanah yang merupakan basantara asli Maluku. Cuci negeri kini juga dianggap warga sebagai usaha membersihkan negeri dan diri untuk menyambut Natal.
Meski begitu Mords menilai, unsur-unsur kebudayaan yang datang awal di Negeri Soya masih tetap ada di tradisi tersebut. Bahkan, di dalam kapata masih tersurat pengaruh dari budaya sebelumnya.
"Karena itu di dalam kapata yang dibacakan pada puncak cuci negeri juga disebut Raja pertama Soya Upulatu Silimau Agam Raden Mas Sultan Labung Inang Mojopahit, disebutkan juga guru haji di dalam kapata yang merupakan pengaruh dari Islam dan puncak cuci negeri selalu pada hari Jumat," katanya.
Prosesi kain gandong juga merupakan sebuah bentuk akulturasi yang menunjukkan Kerajaan Soya pada masa lalu sudah membuka diri terhadap para pendatang. Ia menilai proses persatuan dalam kain gandong sangat penuh makna, bukan semata sebagai pembatas barisan orang.
Persatuan dalam kain gandong menunjukkan kelompok marga asli Soya (Soa Pera) menerima marga-marga yang datang setelahnya (Soa Erang). Dua kelompok tersebut dipertemukan setelah keduanya membersihkan diri atau cuci air di sumber air yang berbeda, Soa Pera di air Wai Werhalouw, sedangkan Soa Erang di air Unuwei. Kedua kelompok itu masing-masing berjalan dari lokasi cuci air dengan dibatasi kain gandong berwarna putih sepanjang 50 meter yang dibentuk menyerupai huruf U.
"Sementara menunggu cuci air, perwakilan pemimpin Soa Pera dan Soa Erang bersama perwakilan adat dan pemerintahan, berkumpul di meja makan di bawah langit langsung untuk angkat sumpah untuk jadi satu," katanya.
Setelah itu kedua kelompok tersebut bertemu di lokasi yang tak jauh dari meja makan untuk menyatukan diri. Di tempat itu pula kain gandong diputar-putar sebanyak tiga kali mengelilingi rombongan yang telah bersatu tersebut. Kain gandong yang dipertemukan adalah simbol dua kelompok mengangkat sumpah menjadi Negeri Soya.
Kepala Soa Pera Thomi Tamtelahitu, pemimpin empat marga asli Negeri Soya mengatakan, pelaksanaan tradisi cuci negeri tahun ini terasa lebih membanggakan karena tepat pada puncak acara tanggal 9 Desember, Raja Soya John L Rehatta menerima Anugerah Kebudayaan Indonesia (AKI) dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Riset dan Teknologi RI di Jakarta.
Karena itu, Thomi saat mewakili Raja Soya dalam upacara puncak cuci negeri di Baileo Samasuru berpesan kepada generasi muda untuk meneruskan tradisi tersebut. Bagi Thomi, tradisi Cuci Negeri Soya sudah melintasi berbagai masa yang mempererat keutuhan negeri. Bahkan, ketika kerusuhan sektarian yang melibatkan agama meletus di Kepulauan Maluku pada 1999, Cuci Negeri Soya tetap berlangsung.
"Jadi tanggung jawab generasi penerus anak negeri untuk wariskan tradisi cuci negeri. Meski dilanda kerusuhan, tetap cuci negeri terus menerus berjalan tanpa putus. Makna besarnya adalah adat yang persatukan katong (kita) di Negeri Soya. Katong bisa nikmati apa saja, tapi tak ada gunanya tanpa persekutuan," ujar Thomi Tamtelahitu.
Tradisi Cuci Negeri Soya sejatinya juga memiliki potensi yang menarik untuk menjadi agenda wisata tahunan di Kota Ambon. Akses ke Negeri Soya juga sudah berupa jalan aspal dan lokasinya hanya berjarak sekitar lima kilometer dari pusat Kota Ambon. Kontur desa berupa perbukitan terasa teduh dan banyak pohon-pohon buah, seperti manggis dan durian.
Berkunjung ke Negeri Soya juga bisa melihat arsitektur bangunan tua, seperti rumah kancing yang tahan gempa dan Gereja Soya. Bagi penyuka mode busana etnik, tradisi cuci negeri adalah saat tepat untuk melihat warisan budaya kebaya Ambon dan baju cele.
Kepala Dinas Pariwisata Maluku Afandi Hasanusi menilai tradisi cuci negeri soya adalah salah satu keunikan wisata budaya di Maluku yang perlu dilestarikan. Apalagi Negeri Soya juga sudah ditetapkan sebagai salah satu dari 10 desa wisata berbasis musik di Kota Ambon.
"Ya kearifan lokal begini yang perlu dilestarikan," katanya.
Editor: Masuki M. Astro
Copyright © ANTARA 2022