ketika sekolah sudah merespon keberagaman, terlepas ada atau tidaknya anak berkebutuhan khusus, bisa dikatakan inklusif
Jakarta (ANTARA) - Dosen Program Studi Pendidikan Khusus Universitas Negeri Jakarta (UNJ) Leliana Lianty mengatakan bahwa ada banyak manfaat yang bisa didapatkan saat mengembangkan lingkungan belajar atau pendidikan yang inklusif, salah satunya menanamkan rasa untuk saling menghargai perbedaan.

"(Manfaat) yang paling penting menurut saya adalah kita menghargai perbedaan dan keunikan setiap individu," kata Leliana dalam webinar "Cintai Keragaman untuk Mewujudkan Lingkungan Belajar Inklusif" yang diikuti secara daring di Jakarta, Senin.

Ia mengatakan, rasa untuk saling menghargai perbedaan merupakan hal penting sebab setiap orang terlahir dengan latar belakang yang berbeda dan memiliki keunikan masing-masing dengan beragam kondisi.

Selain itu, lanjut dia, Indonesia juga merupakan negara yang sangat kaya akan budaya. Sehingga dengan lingkungan belajar yang inklusif, peserta didik juga dapat mengenal keragaman budaya yang ada dan menumbuhkan toleransi.

"Jadi benefit-nya luar biasa. Tidak hanya untuk peserta didik atau pendidik atau orang tua atau masyarakat saja, tapi untuk semuanya," ujar Leliana.

Baca juga: Lingkungan belajar inklusif harus dimulai sejak PAUD
Baca juga: Tantangan wujudkan lingkungan inklusif dari perda memihak disabilitas

Lingkungan belajar yang inklusif sendiri dikatakan Leliana harus mampu menyesuaikan dengan kebutuhan masing-masing peserta didik.

Sehingga, ia mengatakan bahwa manfaat lainnya dari mewujudkan lingkungan belajar yang inklusif adalah setiap peserta didik dari berbagai kondisi latar belakang termasuk anak berkebutuhan khusus bisa mendapatkan pendidikan di lingkungan pendidikan yang sama.

"Selama ini, anak-anak berkebutuhan khusus kalau mau sekolah harus jauh-jauh mencari Sekolah Luar Biasa (SLB), sedangkan SLB terbatas. Tapi dengan adanya inklusivitas ini, mereka bisa sekolah di sekolah terdekat," katanya.

"Tapi perlu kita pahami bersama, inklusif ini bukan hanya soal anak berkebutuhan khusus. Intinya kalau bicara inklusif, ketika sekolah sudah merespon keberagaman, terlepas ada atau tidaknya anak berkebutuhan khusus, bisa dikatakan inklusif. Ketika ada perbedaan budaya, agama, bahasa, ekonomi, itu sudah inklusif," tegas Leliana.

Baca juga: Angkie Yudistia sebut lingkungan inklusif tanggung jawab bersama

Baca juga: UNESCO laporkan target pendidikan inklusif 2030 sulit tercapai

Baca juga: Hardiknas jadi momen suarakan pendidikan inklusif dan sekolah aman

Pewarta: Suci Nurhaliza
Editor: Budhi Santoso
Copyright © ANTARA 2022