Jakarta (ANTARA News) - Pemerintah diminta serius menempuh jalur hukum jika ingin mengambil alih saham PT Indosat Tbk, yang didivestasi pada akhir Desember 2002.
"Jalur hukum merupakan langkah tepat dilakukan untuk menjadi mayoritas kembali di Indosat, dibanding membeli kembali (buyback) saham perusahaan itu," kata Anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD), Marwan Batubara, di sela seminar bertajuk "Privatisasi, Modal Asing: Antara Nasionalisme dan Efisiensi Ekonomi, di Kampus UI, Depok, Rabu.
Pemerintah Indonesia akhir 2002, mendivestasi saham Indosat sebesar 41,94 persen kepada Singapore Technologies Telemedia (ST Telemedia) melalui Indonesia Communications Limited (ICL).
Menurut Marwan, pada kasus divestasi Indosat, pelanggaran hukum yang mendasar yaitu ketika transaksi jual beli dilakukan melalui pembentukan perusahaan khusus (special purpose vehicle/ SPV) oleh STT.
"Ini tidak diumumkan waktu tender awal, makanya transaksi melalui SPV bisa dianggap pelanggaran," ujar Marwan yang juga Ketua Serika Pekerja Indosat ketika transaksi penjualan dilakukan.
Ia menjelaskan, selain pelanggaran transaksi, penjualan saham pemerintah di Indosat juga melanggar UU Telekomunikasi dan UU Penanaman Modal.
Dijelaskannya, dalam kondisi seperti ini STT tidak akan mau melepas sahamnya mengingat prospek bisnis di industri telekomunikasi akan terus tumbuh.
"Harga saham Indosat saat didivestasi mencapai Rp12.000 per lembar, belakangan terus meningkat hingga mencapai Rp28.000 per lembar. Demikian juga dengan jumlah pelanggan, telah meningkat menjadi 14,4 juta nomor triwulan I 2006," kata Marwan.
Sebelumnya, pada beberapa kesempatan Wapres Jusuf Kalla pernah memberikan bahwa pemerintah ingin melakukan buyback saham Indosat.
Menurut Marwan, pihaknya melalui Ikatan Alumni Universitas Indonesia (ILUNI) telah memberi masukan berupa laporan kepada aparat hukum, seperti Kepolisian, Kejaksaan Agung, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
"Pemerintah harus menindaklanjuti laporan itu," katanya.
Masalah ini ujarnya, harus cepat dituntaskan karena akan membahayakan kepentingan arus informasi jasa keuangan di Indonesia, industri satelit, dan masalah frekuensi telekomunikasi.(*)
Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2006