Kesenjangan tentu perlu diantisipasi
Jakarta (ANTARA) - Dokter Spesialis Paru Konsultan Infeksi sekaligus pakar ilmu kesehatan Prof Tjandra Yoga Aditama mengatakan penempatan lulusan dokter di jejaring puskesmas sebagai Aparatur Sipil Negara (ASN) menjadi solusi untuk mengatasi masalah pendidikan dokter spesialis di Indonesia.
"Sebenarnya Indonesia pernah punya kebijakan panjang, lebih dari 10 tahun bahwa dokter baru lulus di tempatkan di puskesmas seluruh Tanah Air sebagai ASN," kata Tjandra Yoga Aditama di Jakarta, Senin.
Tjandra yang juga Guru Besar Paru di Universitas Indonesia itu mengatakan kebijakan yang pernah cukup lama diterapkan di Indonesia itu punya dua keunggulan.
Yakni, ketersediaan dokter di Puskesmas jadi terjamin. Di kala itu praktis semua puskesmas ada dokternya, kata Tjandra.
"Karena sudah berstatus ASN, maka ketika selesai puskesmas dan masuk pendidikan spesialisasi maka tentu saja si dokter menerima gaji, jadi berbeda dengan situasi sekarang," katanya.
Baca juga: Menkes: Penambahan dokter spesialis RSUD bukti transformasi kesehatan
Baca juga: Kemenkes dorong pertumbuhan dokter spesialis lewat beasiswa
Sesudah selesai tugas di puskesmas antara 3 hingga 5 tahun, kata Tjandra, maka dokter itu dapat melanjutkan pendidikan spesialisasi.
"Karena dua keunggulan ini, maka kebijakan yang pernah diterapkan itu dapat juga dipertimbangkan untuk diterapkan kembali, tentu dengan penyesuaian yang diperlukan sesuai dengan situasi sekarang," katanya.
Menurut Tjandra, mahalnya biaya pendidikan kedokteran menjadi salah satu penyebab jumlah dokter spesialis di Indonesia kurang dari kebutuhan.
Berdasarkan catatan Konsil Kedokteran Indonesia (KKI), per 1 November 2022, jumlah dokter spesialis di Indonesia sekitar 48.784 orang.
Dari jumlah itu, hanya 44.753 dokter spesialis yang memiliki Surat Tanda Registrasi (STR) sebagai tanda telah memenuhi syarat dan teregistrasi di KKI.
Sementara itu, hingga 2022 Indonesia kekurangan dokter aktif sekitar 130 ribu orang. Hal itu berdasarkan standar WHO terkait kebutuhan dokter minimal 1 per 1.000 penduduk.
Jumlah dokter aktif atau memiliki STR sekitar 140 ribu orang. Dengan jumlah penduduk sekitar 270 juta jiwa, maka kebutuhan dokter minimal di Indonesia adalah 270 ribu atau 1 per 1.000 penduduk.
Menyikapi situasi itu, Kemenkes mendorong perubahan basis Program Pendidikan Dokter Spesialis (PPDS) menjadi berbasis pendidikan belajar sambil bekerja di rumah sakit.
"Sehubungan dengan kekurangan dokter spesialis, mahalnya biaya pendidikan dan kemungkinan membuka pendidikan tidak di Universitas tapi di rumah sakit," kata Tjandra.
Terkait kebijakan itu, Tjandra menyebut akan timbul kesenjangan perlakuan antara spesialis yang dididik di fakultas kesehatan dan di rumah sakit,
"Pendidikan yang lewat fakultas kedokteran tidak digaji, sementara pendidikan lewat rumah sakit mendapat gaji. Kesenjangan tentu perlu diantisipasi," katanya.
Pertimbangan lainnya adalah, kurikulum dan tenaga pendidikan seperti Lektor, Lektor Kepala, hingga profesor adanya di sistem fakultas kedokteran, bukan di rumah sakit.
"Kurikulum sekarang ini juga dibuat oleh insan pendidikan di fakultas. Jadi kalau akan pendidikan berbasis rumah sakit, maka hal ini perlu diselesaikan dahulu sejak awal," katanya.
Baca juga: Kemenkes pangkas birokrasi untuk panggil dokter lulusan luar negeri
Baca juga: Menkes: 586 Puskesmas di Indonesia belum memiliki dokter
Pewarta: Andi Firdaus
Editor: Zita Meirina
Copyright © ANTARA 2022