ODGJ atau ODMK menjadi orang yang rentan mengalami diskriminasi ketika berhadapan dengan hukum.

Jakarta (ANTARA) - Hukum sudah sepatutnya menjadi pelindung bagi segenap masyarakat, termasuk orang dengan gangguan jiwa (ODGJ) atau orang dengan masalah kejiwaan (ODMK). Namun, pada kenyataannya proses penegakan hukum untuk ODGJ atau ODMK menemui kendala yang rumit.

Sebab, belum semua orang mendapatkan informasi yang memadai mengenai kesehatan jiwa. Gangguan kesehatan mental punya bentuk yang beragam, kasat mata atau tak kasat mata.

Data dari berbagai belahan dunia menunjukkan bahwa sekitar 1 dari 5 orang yang menjalani proses hukum sebenarnya mengalami masalah kesehatan jiwa. Kondisi ini berpotensi menghambat pemenuhan hak-hak mereka untuk berpartisipasi penuh dan mendapatkan keadilan.

Masalah kesehatan jiwa yang ditemukan pun sangat beragam, dari gangguan yang menyebabkan seseorang kesulitan membedakan kenyataan dan khayalan, gangguan suasana perasaan yang menetap seperti depresi.

Juga gangguan mengatur perilaku seperti yang dialami orang dalam kondisi mania dan gangguan pemusatan perhatian dan hiperaktivitas (GPPH), hingga perbedaan dalam cara menerima dan merespons informasi, seperti spektrum autisme dan disabilitas intelektual.

Jadi, bukan cuma mereka yang jelas terlihat sudah kehilangan akal atau tidak bisa lagi diajak berkomunikasi secara normal. Masalah kejiwaan juga bisa dialami orang-orang yang tindak-tanduknya terlihat baik-baik saja, tapi gejalanya baru muncul ketika individu ini mendapatkan tekanan atau stres.

Pakar kejiwaan Kepala Divisi Psikiatri Forensik Dept.Psikiatri FKUI-RSCM Dr. dr. Natalia Widiasih, Sp.KJ(K), M.Pd.Ked, menjelaskan gangguan jiwa itu serupa dengan sakit fisik. Kemiripannya ada pada sifat yang dinamis.

Gejala sakit fisik bisa muncul dan hilang. Begitu pun dengan gangguan jiwa. Gangguan itu tidak terjadi sepanjang waktu, tapi bisa timbul dan tenggelam.

Tingkat keparahannya juga bervariasi pada setiap individu. Ada orang-orang yang bisa pulih total, ada yang bisa pulih sebagian, ada juga gangguan yang tidak mempengaruhi kecakapan mental.

Sejumlah berita kejahatan yang dikaitkan dengan kesehatan jiwa berseliweran di media massa, entah itu pembunuh yang diduga terganggu jiwanya, pelaku tindak susila yang pernah berobat ke rumah sakit jiwa, hingga terduga koruptor yang menghindari hukuman dengan pura-pura gila.

Kitab Undang-Undang Hukum Pidana yang lama dan baru sama-sama membahas soal tindak pidana yang dilakukan oleh penyandang disabilitas mental tidak bisa dijatuhi pidana. Maka, ketika ada perbuatan yang tidak bisa dipertanggungjawabkan atas alasan kondisi kejiwaan, maka orang yang bersangkutan tidak bisa dipidana.

Dalam memeriksa ODGJ/ODMK, aparat penegak hukum perlu melakukan pembuktian atas kondisi kejiwaan tersangka untuk dua hal. Pertama, kondisi pelaku ketika terjadi tindak pidana. Hal ini untuk memastikan apakah pelaku dapat mempertanggungjawabkan tindakannya atau tidak.

Kedua, kondisi pada saat pemeriksaan. Ini untuk memastikan tersangka siap diperiksa dan menentukan dukungan apa yang harus diberikan oleh aparat penegak hukum agar proses pemeriksaan dapat berjalan dengan baik dan informasi yang disampaikan oleh tersangka dapat dipahami dengan baik oleh aparat penegak hukum.

Namun, informasi mengenai ragam manifestasi masalah kesehatan jiwa di kalangan aparat penegak hukum juga belum merata. Bisa jadi ODGJ kehilangan hak karena langsung dianggap tidak cakap secara mental tanpa pemeriksaan yang sesuai.

Ketika hal ini terjadi, maka ODGJ atau ODMK menjadi orang yang rentan mengalami diskriminasi ketika berhadapan dengan hukum.

Gangguan jiwa tidak serta-merta menghilangkan hak dan kewajiban seseorang di mata hukum, tetapi memerlukan pendekatan yang tepat secara klinis maupun legal untuk memenuhi hak dan keadilan bagi ODGJ dan ODMK dalam sistem hukum.


Psikiatri forensik

Psikiatri forensik merupakan cabang subspesialistik dari psikiatri yang menjawab kebutuhan sistem hukum untuk menganalisis kondisi psikologis seseorang dan memberikan penjelasan pada pihak yang berwenang, agar menjadi pertimbangan saat mereka mengambil keputusan di seluruh ranah hukum. Peran psikiatri forensik dalam masalah hukum mencakup pada hukum pidana, perdata, dan administrasi.

Psikiater forensik dapat membantu pembuatan putusan di pengadilan terkait layanan dan dukungan kesehatan jiwa yang dibutuhkan, bukan sekadar hukuman penjara.

Di lain sisi, layanan psikiatri forensik di Indonesia juga masih berada dalam proses perkembangan dan belum merata. Jumlah konsultan psikiatri forensik masih sangat terbatas.

Di Indonesia, hanya ada 8 orang yang masih aktif memberikan layanan psikiatri forensik, sehingga mayoritas pemeriksaan psikiatri forensik dilakukan oleh psikiater umum.

Namun, penelitian berskala nasional menunjukkan bahwa lebih dari 60 persen psikiater Indonesia memilih untuk merujuk kasus ke konsultan karena mempersepsikan kasus psikiatri forensik sebagai sesuatu yang sulit dan “berbahaya”.

Dukungan hukum untuk psikiater memang masih terbatas. Saat ini payung hukum dan aturan yang berkaitan dengan ODGJ/ODMK yang berhadapan dengan hukum juga belum sepenuhnya mengakomodasi pendekatan restorative justice terkini.

Ini juga termasuk dalam menentukan batasan-batasan psikologis yang dimaksud dalam aturan dan juga tindak lanjut yang berbasis bukti ilmiah sehingga psikiater kerap menemukan jalan buntu dalam menangani kasus.

Kasus psikiatri forensik juga masih identik dengan tingginya risiko konflik medikolegal atau tuntutan dari pihak-pihak yang terlibat. Belum lagi media sosial masa kini yang dapat membuat konflik medikolegal meluber ke ranah umum dan mengundang tekanan eksternal.

Dalam menjawab tantangan tersebut, tim peneliti Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia meluncurkan pedoman Kemampuan Berpikir Analisis Psikomedikolegal (KBAP) dan modul pelatihannya.

Pedoman ini merupakan sebuah inovasi untuk membantu psikiater melakukan pemeriksaan psikiatri forensik yang efektif dan efisien.

KBAP merupakan panduan yang dapat membantu tercapainya pemeriksaan kecakapan mental yang berkualitas sebagai salah satu cara untuk memenuhi hak ODGJ/ODMK dalam sistem hukum di Indonesia.

Di sisi lain, penting juga untuk memasukkan perspektif peka disabilitas mental ke dalam kurikulum pelatihan aparat penegak hukum, seperti pendapat dari Direktur Advokasi dan Jaringan di Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK) Fajri Nursyamsi.

Hasilnya tentu tak bisa langsung terlihat sekejap, namun langkah kecil ini sangat berarti untuk kehidupan masyarakat yang lebih baik pada masa mendatang.




Editor: Achmad Zaenal M



Copyright © ANTARA 2022