Jakarta (ANTARA) - Sekretaris Umum PP Muhammadiyah Abdul Mu’ti menggarisbawahi bahwa penguatan moderasi beragama adalah sebuah proses yang harus dilakukan bersama-sama oleh seluruh elemen masyarakat sehingga konsepsi tersebut menjadi sebuah gerakan.
"Penguatan moderasi beragama semestinya menjadi bagian dari gerakan sosial," ujar Mu'ti saat menjadi pembicara dalam bedah buku, Moderasi Beragama: Tanggapan atas Masalah Kesalahpahaman, Tuduhan, dan Tantangan yang Dihadapinya, di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Ciputat, Tangerang Selatan, Kamis.
Sebagai sebuah gerakan, menurutnya, moderasi beragama harus menyentuh aspek cara pandang. Artinya, bagaimana masyarakat memahami moderasi beragama dari sudut pandang yang bisa dilihat dari berbagai perspektif.
Menurutnya, moderasi beragama memiliki kerangka konseptual, bahkan kerangka teologis yang ada pada agama-agama di Indonesia. Dalam konteks Islam misalnya, moderasi beragama dikaitkan dengan Wasathiyah Islam yang juga menjadi program besar bangsa Indonesia setelah Deklarasi Bogor pada 2019.
"Membangun mindset ini memberikan konstruksi bahwa moderasi beragama itu built in dalam ajaran agama, bukan diimpor dari luar agama. Apalagi dipaksakan oleh kepentingan tertentu," kata dia.
Selain mindset, kata dia, aspek penting dalam moderasi beragama adalah membangun ruang perjumpaan sebanyak-banyaknya di antara kelompok berbeda. Ruang perjumpaan itu menjadi pintu di mana moderasi beragama menjadi gerakan sosial dan keagamaan.
"Dengan ada ruang dialog itu, maka ada tiga proses penting di dalamnya, yaitu listening atau mau mendengar, sharing atau kesempatan menyampaikan pandangan, serta understanding atau saling memberikan pemahaman," kata dia.
Mu’ti menegaskan ada beberapa hal yang memang tidak semua orang bisa bersetuju. Misalnya, pada aspek yang berkenaan dengan perbedaan fundamental antaragama maupun intern agama. Namun, ada juga ruang yang semua orang bisa bersama, yaitu ruang universal.
"Perlu ada ruang dialog sehingga bisa saling memahami apa yang selama ini menjadi sumber kesalahpahaman. Ini perlu diperbanyak," ujar Mu'ti.
Moderasi beragama, lanjut Mu’ti, juga menciptakan ruang inklusi. Ia menilai Lukman Hakim Saifuddin cukup berani saat menjadi Menag, dengan membuka ruang inklusi bagi pemeluk agama Bahai misalnya.
"Moderasi beragama meniscayakan adanya inklusi di mana agama tidak bisa dikuantifikasi. Saya tidak setuju istilah mayoritas dan minoritas. Sebab, keyakinan sangat personal, tidak bisa dikuantifikasi. Sebab, kuantifikasi itu alat politik," kata dia.
Mu’ti mengakui bahwa tantangan yang dihadapi dalam penguatan moderasi beragama tidak mudah. Namun, penguatan moderasi beragama tetap harus menjadi suatu hal yang harus terus berlanjut. Sehingga, penguatan moderasi beragama tidak boleh dan tidak harus menjadi program pemerintah, meski masuk dalam RPJMN.
"Penguatan moderasi beragama semestinya menjadi bagian dari gerakan sosial," kata dia.
Baca juga: Lukman Hakim terbitkan buku jawab kekeliruan pahami moderasi beragama
Baca juga: FKUB: Moderasi beragama perlu dimasukkan kurikulum pendidikan nasional
Baca juga: Ari Dwipayana ajak masyarakat perkuat moderasi beragama lewat seni
Pewarta: Asep Firmansyah
Editor: Triono Subagyo
Copyright © ANTARA 2022