Lasso, mantan bankir konservatif yang menjabat sejak Mei 2021, ingin menumpas kejahatan yang berkembang, termasuk di penjara, dengan alasan bahwa kekerasan melanda negara Amerika Selatan itu.
Lasso awalnya berusaha melakukan reformasi melalui referendum pada 5 Februari tahun depan.
Namun, Mahkamah Konstitusi menolak rencana tersebut dan mengatakan bahwa perubahan peran militer harus disetujui oleh Majelis Nasional.
"Majelis itu dapat menawarkan solusi permanen dan abadi dalam perang melawan narkoba. Kami membutuhkan alat ini untuk memberikan keamanan dan ketenangan pikiran," kata Lasso di luar Kongres Ekuador.
Saat ini, militer Ekuador tidak dapat membantu polisi dalam tugas keamanan dalam negeri, kecuali ada pernyataan keadaan darurat.
Reformasi membutuhkan 92 suara untuk disetujui, tugas yang sulit bagi Lasso, yang tidak memiliki mayoritas dukungan di Kongres dan menghadapi ketegangan dengan anggota parlemen sejak dia menjabat.
Pada Juni, anggota parlemen oposisi menyerukan pelengseran Lasso selama protes anti-pemerintah oleh kelompok-kelompok pribumi.
Lasso mengumumkan keadaan darurat pada November di tiga provinsi setelah serangan terhadap satuan-satuan polisi dilaporkan.
Sekitar 69 petugas polisi telah tewas dalam perang melawan kejahatan terorganisasi sepanjang tahun ini, menurut data resmi.
"Kami prihatin bahwa militer ditarik dari tugas utamanya, yaitu menjaga perbatasan tempat perdagangan narkoba, senjata, dan manusia terjadi," kata Esteban Torres, seorang anggota parlemen dari Partai Sosial Kristen, kepada wartawan.
Sumber: Reuters
Baca juga: Kerusuhan di penjara Ekuador, 13 narapidana tewas
Baca juga: Ekuador turunkan harga bensin untuk redakan protes
Baca juga: Pemerintah Ekuador dan pemimpin adat berunding di tengah protes
Penerjemah: Mulyo Sunyoto
Editor: Anton Santoso
Copyright © ANTARA 2022