Stunting menjelaskan Indonesia kalah kompetitif dengan bangsa lain
Jakarta (ANTARA) - Kondisi stunting pada anak mampu meningkatkan kemiskinan dan ketimpangan dalam kehidupan masyarakat karena dampak buruknya bagi tumbuh kembang anak, kata Kepala
Tim Kebijakan Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan (TNP2K) Setwapres Elan Satriawan.
“Penting bagi kita mengingat bahwa masalah stunting bukan hanya masalah tinggi badan yang kurang normal saja, tapi ketidaksempurnaan dalam mencapai pertumbuhan secara optimal sebagai anak maupun potensinya sebagai manusia,” kata Elan Satriawan dalam Forum Refleksi Kebijakan Percepatan Perbaikan Gizi yang diikuti secara daring di Jakarta, Rabu.
Elan menuturkan bahwa stunting memberikan pukulan besar pada tingkatan kecerdasan anak. Anak dapat menjadi rentan terhadap penyakit sehingga mampu menurunkan produktivitas yang dengan kuat dapat menghambat pertumbuhan ekonomi sekaligus memperlebar jurang kemiskinan.
Stunting yang mengenai anak-anak disebabkan oleh suatu faktor yang salah selama proses kehamilan baik berupa asupan gizi, lingkungan yang tidak sehat ataupun pola asuh keluarga yang kurang tepat.
Baca juga: Setwapres: Ada PR turunkan stunting 10,4 persen di dua tahun ke depan
Baca juga: Setwapres: Kepala daerah hingga perilaku tantangan entaskan stunting
Dengan angka prevalensi stunting yang menurut data SSGI 2021 mencapai 24,4 persen, Elan membeberkan jika hasil asesmen 2012 yang dilakukan oleh OECD PISA pun menunjukkan bahwa tingkat kecerdasan anak Indonesia berada di urutan 64 dari 65 negara atau di bawah Malaysia, Thailand dan Vietnam.
“Melihat tatanan individu ini masalah stunting juga punya implikasi pada kehidupan sosial dan juga pada kehidupan ekonomi bermasyarakat. Saya kira kalau kita hubungkan masalah stunting ini dengan masalah kemajuan bangsa, ini yang menjelaskan kenapa mungkin Indonesia kalah kompetitif dengan bangsa lain,” ujarnya.
Elan melanjutkan jika menilik pengalaman dan bukti internasional, stunting dapat menghambat laju pertumbuhan ekonomi dan produktivitas dalam pasar kerja yang mengakibatkan negara harus kehilangan 11 persen dari pendapatan GDP-nya.
Stunting bahkan mampu mengurangi pendapatan pekerja dewasa hingga 20 persen. Dengan demikian, terjadi perburukan kesenjangan dimana stunting bisa mengurangi 10 persen dari total pendapatan seumur hidup dan memperkuat kemiskinan antar generasi.
Elan menekankan meskipun sebuah negara memiliki program yang mumpuni untuk mempercepat pengentasan stunting, pemimpin negara harus turun langsung membantu kementerian/lembaga terkait karena hal tersebut dapat memperkuat sinergitas kerja semua pihak.
Ia menjelaskan cara tersebut sudah terbukti efektif di negara Peru yang melibatkan langsung dalam percepatan penurunan stunting, sehingga urgensi dari komitmen “Top Leadership” itu dapat dipahami oleh semua pihak.
“Makanya ketika muncul Bapak Presiden dan Wapres berkomitmen, menciptakan strategi nasional, Perpres dan sebagainya, saya kira ini sebuah kemenangan besar pada tahap awal mendorong percepatan pencegahan stunting,” ucapnya.
Dikarenakan intervensi pada stunting harus menyentuh dua aspek yakni spesifik dan sensitif, ia berharap semua kementerian/lembaga terkait dapat bersama-sama dengan pemimpin negara berkomitmen mencegah dampak buruk stunting bagi bangsa di masa depan.
“Masalah stunting ini multi faktor, kemudian multidimensi. Upaya untuk menangani stunting juga membutuhkan multi intervensi, yang itu bisa kita kategorisasi menjadi dua kelompok yaitu spesifik dan sensitif,” ujarnya.
Baca juga: Setwapres: Tokoh agama mainkan peran strategis turunkan stunting
Baca juga: Setwapres ingatkan amanat Presiden dan Wapres soal penurunan stunting
Pewarta: Hreeloita Dharma Shanti
Editor: Zita Meirina
Copyright © ANTARA 2022