New York (ANTARA) - Harga minyak jatuh pada akhir perdagangan yang hiruk pikuk Selasa (Rabu pagi WIB), ke tingkat penyelesaian terendah tahun ini, dengan Brent berakhir di bawah 80 dolar AS per barel untuk kedua kalinya pada tahun 2022, karena investor meninggalkan pasar yang bergejolak di tengah ekonomi yang tidak menentu.
Minyak mentah berjangka Brent untuk pengiriman Februari anjlok 3,33 dolar AS atau 4,0 persen, menjadi menetap di 79,35 dolar AS per barel. Minyak mentah berjangka West Texas Intermediate (WTI) terpangkas 2,68 dolar AS atau 3,5 persen, menjadi ditutup di 74,25 dolar AS per barel, penyelesaian terendah tahun ini.
Harga minyak telah turun lebih dari 1,0 persen selama tiga sesi berturut-turut, menyerahkan sebagian besar keuntungan mereka untuk tahun ini. Serangkaian berita bearish membuat investor ketakutan meskipun perang sedang berlangsung di Ukraina dan salah satu krisis energi terburuk dalam beberapa dekade terakhir.
"Sudah cukup tiga hari - dengan OPEC+ memutuskan untuk tidak memangkas produksi lebih lanjut pada Ahad (4/12/2022), dimulainya batas harga dan sanksi Rusia 'tanpa gigi' kemarin, dan penurunan di pasar ekuitas hari ini, mendorong spekulan minyak keluar di tengah pelarian dari aset-aset berisiko," kata Matt Smith, analis minyak utama di Kpler.
Baca juga: Minyak beragam, Brent pangkas kerugian karena rumor pemangkasan OPEC+
Baca juga: Bahlil sudah siapkan formulasi bikin organisasi negara penghasil nikel
Aktivitas sektor jasa-jasa di China mencapai titik terendah dalam enam bulan, dan ekonomi Eropa melambat karena tingginya biaya energi dan kenaikan suku bunga. Indeks-indeks acuan Wall Street juga jatuh pada Selasa (6/12/2022) di tengah ketidakpastian seputar arah kenaikan suku bunga Federal Reserve dan pembicaraan lebih lanjut tentang resesi.
Kemerosotan Selasa (6/12/2022) adalah penurunan harian terbesar dalam harga Brent sejak akhir September, yang telah diperdagangkan dalam kisaran 62 dolar AS tahun ini sebagai ayunan terluas mereka dalam satu tahun sejak krisis keuangan 2008.
"Kita bisa melihat WTI 60 dolar AS per barel seperti yang terjadi," kata Eli Tesfaye, ahli strategi pasar senior di RJO Futures. "Saya pikir 80 dolar AS akan menjadi harga tertinggi baru, dan saya akan sangat terkejut melihat harga yang lebih tinggi dari itu."
Pasar minyak juga sebagian besar mengabaikan ancaman terhadap pasokan, seperti yang berasal dari batas harga G7 sebesar 60 dolar AS pada ekspor minyak mentah lintas laut Rusia, yang kemungkinan akan membuat negara tersebut memangkas produksi minyaknya.
Rusia mengatakan tidak akan menjual minyak kepada siapa pun yang menandatangani batas harga. Produksi kondensat minyak dan gas Rusia Januari-November naik 2,2 persen dari setahun lalu, menurut Wakil Perdana Menteri Alexander Novak, yang memperkirakan sedikit penurunan produksi menyusul sanksi terbaru.
Di China, lebih banyak kota melonggarkan pembatasan terkait COVID-19, mendorong ekspektasi peningkatan permintaan di importir minyak utama dunia itu, meskipun itu belum cukup untuk menghentikan penurunan harga minyak berjangka.
"Pasar minyak kemungkinan akan tetap bergejolak dalam waktu dekat, didorong oleh berita utama COVID di China dan kebijakan bank sentral di AS dan Eropa," kata analis UBS Giovanni Staunovo.
Sementara itu, stok minyak mentah AS diperkirakan turun pekan lalu. Laporan mingguan American Petroleum Institute (API) akan dirilis pada Selasa waktu setempat, diikuti oleh data pemerintah pada Rabu.*
Baca juga: KPBN dorong Indonesia jadi rujukan pembentukan harga acuan CPO dunia
Baca juga: IEA: Dunia dalam "krisis energi global pertama yang sesungguhnya"
Penerjemah: Apep Suhendar
Editor: Erafzon Saptiyulda AS
Copyright © ANTARA 2022